Sampai sekarang jika menyebut sosok yg paling "bersalah" membuatku jadi alergi pada matematika tak lain adalah seorang guru SD ku yg bernama Pak Kuat. Ya, namanya memang Pak Kuat, bertubuh dempal dan berwajah garang. Kadang aku merasa beliau tidak adil dalam memperlakukan murid. Aku salah satu yg sering jadi incaran karena tingkahku yg suka pecicilan di kelas. Bahkan sebelum pelajarannya di mulai rasanya seperti sedang berada di muka pintu neraka (haha lebay!). Tapi memang benar. Perasaan tiba2 jadi menciut: ada khawatir, ada takut, ada marah, ada sebal, kebelet kencing, kebelok boker, campur aduk ga karuan.
Suatu pagi dalam mata pelajaran beliau aku ketahuan tidak mengerjakan PR. Sudah kuduga akhirnya aku harus maju ke sudut depan kelas sepanjang pelajaran berlangsung. Aku pasrah saja sambil berharap pelajaran itu cepat usai. Tapi perkiraanku meleset. Justru dalam penjelasan berhitung "poro gapit" tersebut aku lantas disuruh menjawab sebuah contoh soal. Tentu saja aku jadi makin berkeringat dingin. Hasilnya? Ya gak bisa lah! :p
Nah demi membuat murid-murid lain mengerti hitungan dalam contoh soal itu, aq pun harus rela menerima hukuman ekstra, menjadi martir pelajaran hari itu. Aq harus memunguti dan mengumpulkan satu timba penuh kerikil yg tersebar di halaman sekolah. Dan dengan dibimbing guru tersebut aku lantas menghitungnya di depan kelas berdasarkan jumlah yg tertera dalam soal dengan pola penghitungannya.Â
Itu adalah unforgetable moment dalam persinggunganku dengan mata pelajaran matematika yg kemudian terbawa hingga dewasa. Saat masuk memilih fakultas, maka fakultas yg minim matematika lah yg akhirnya kupilih: hukum. Padahal itung2an juga bisa masih ditemui pd hukum waris. :D
Pak kuat memang galak, tapi aku tak pernah punya maksud untuk menentang atau membantah perintah beliau. Padahal tidak jarang penggaris kelas mendarat di tangan, bokong dan kaki. Begitupun penghapus papan yg pernah melayang ke muka saat aku ketahuan ngantuk. Dan ketika aku "curhat"kan hal tersebut pada orang tua, bukan pembelaan yg kudapat, bisa2 diimbuhi lagi, minimal kuping panas kena jewer. Mungkin kalo jaman sekarang si anak lapor orang tuanya, dan orang tuanya lapor polisi ato komnas anak. Ya, saya tak hendak bilang bahwa anak2 tak harus dilindungi dari berbagai kekerasan, tapi dalam konteks pendidikan kita tidak perlu terlalu berlebihan dan menyamakan hukuman seorang guru sebagai kekeraasan biasa apalagi menganggapnya sebuah kejahatan.Â
Satu lagi guru SD-ku yang bernama Pak Waras. Ini nggak ngarang, ini true story. Pak Waras mengajar pendidikan agama. Orangnya bertubuh sedang dan pembawaannya santun. Tak jarang bahkan di luar jam sekolah pun aku main2 ke rumah beliau. Beliau orangnya humble dan tampak tersenyum setiap saat. Rasa nyaman itu membuatku dekat. Dan aku pun tergolong "superstar" di mata pelajaran beliau :D.
Karena kedekatan dgn belau itulah aku sampai pernah nekat cerita ttg sikap pak kuat yg kubahasakan sbg "membenci". Pak Waras dgn tetap selalu tersenyum menasehati, "Tidak ada guru yg membenci muridnya. Jika ada guru yang menghukum murid itu agar si murid bisa. Tugas guru adalah membuat muridnya pintar", ujar beliau ketika itu. Dan aku pun tak pernah membenci Pak Kuat dgn semua sikapnya yg keras.
Jadi begitulah ceritaku tentang Pak Kuat yang galak dan Pak Waras yang sejuk. Kegalakan Pak Kuat justru pada sisi lain lantas mendidikku menjadi kuat, menjadi dengan cepat mengerti tentang perlunya ketegasan pada saat diperlukan, disiplin sebagai dorongan dari dalam serta tanggung jawab dan keniscayaan resiko. Sementara pak waras, mengajariku untuk selalu mengambil jarak pada diri sendiri, berusaha "waras" de tengah semua potensi kegilaan yg bisa setiap saat aku temui.
Semoga Allah membalas kebaikan dan jasa2 belau berdua dengan pahala yang setimpal. I love you both, shifu.
#Selamat Hari Guru
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H