Mohon tunggu...
Nur Lodzi Hady
Nur Lodzi Hady Mohon Tunggu... Seniman - Warga negara biasa

Seorang pembelajar yang mencintai puisi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sampurasun vs FPI

26 November 2015   00:30 Diperbarui: 26 November 2015   08:00 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Habib Rizieq mengolok sapaan salam masyarakat Sunda "Sampurasun" menjadi Campur racun"][/caption]"Assalamualaikum" dan "Sampurasun" itu secara substansi tidak jauh beda. Penghormatan diberikan kepada orang yang dijumpai atau ditemui dengan sapaan "Sampurasun" (yang terbentuk dari kata "sampura" atau "hampura" (yang berarti "maaf") dan "isun" atau "ingsun" (saya) yang secara keseluruhan mengandung arti permohonan utk dimaafkan ("abdi nyuhungkeun dihapunten"). Sapaan ini merupakan ungkapan sekaligus ajaran kerendah-hatian dalam budaya orang Sunda. Penunjukan "saya" dengan pilihan kata "abdi" merepresentasi semangat kerendah-hatian tersebut. Sapaan "sampurasun" selanjutnya akan berpasangan dengan jawaban "Rampes" yang berarti "baiklah" atau "dimaafkan". 

Kebiasaan dalam tradisi uluk salam ini meski perlahan bergeser massifikasi penggunaannya, namun secara prinsipil masih sama. Masyarakat Sunda sekarang lebih sering menggunakan kata "punten" yang merupakan penyederhanaan dari kata "hapunten" (maaf) pada saat menyapa atau hendak bicara dengan orang lain dengan sopan, dan lantas dijawab dengan kata "mangga"  yang berarti "baiklah" atau "dimaafkan".

Sapaan salam ini tak beda dengan "kulonuwun" / kawulo nyuwun dalam budaya Jawa yang berarti "saya mohon" sebagai kependekan dari "kulo nuwun agunging pangapunten" (saya mohon maaf yang sebesar2nya) dan dijawab dengan kata "monggo" yang berarti "baiklah" atau "dimaafkan". Jadi kira2 kalo dirunutkan menjadi demikian: Sampurasun (saya mohon dimaafkan telah mengganggu anda), "Rampes" (tidak apa2, silahkan). Kan sudah sangat sopan itu?

Uluk salam dalam budaya jawa dan sunda ini sudah tumbuh berakar dari kedalaman cipta rasa dan karsa sejarah kebudayaan yang membangunnya, yang mencerminkan penghargaan, penghormatan dan kesantunan. Semua komppnen ini diajarkan dalam nilai2 agama Islam. Tinggal krentek hatinya gimana, innamal a'malu bin-niyah.

Sementara itu "Assalamualaikum" adalah berarti "semoga keselamatan atas diri anda" (diikuti "warahmatullah wa babarokatuh" yg berarti "serta rahmat Allah dan keberkahan-Nya"). Walaupun dengan arti yg tidak persis sama tapi secara semangat tidak ada bedanya sama sekali, yakni membesarkan hati dan menghormati orang yang ditemui/diajak bicara. Alasan doa? Loh kalo mau doa bener2 ya nggak perlu keras2 juga, di depan orangnya lagi, itu namanya menjilat!

Jadi kalo tiba2 ada kelompok tertentu yang melecehkan budaya seperti ini (contoh soal: http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/11/25/nyczxt352-dinilai-lecehkan-budaya-sunda-habib-rizieq-dilarang-ke-jabar/), sebenarnya secara sadar ataupun tidak, jg sedang melecehkan nilai2 agama dan tuntunan nabi untuk senantiasa bertingkah santun dan rendah hati. Tindakan menghina uluk salam pada masyarakat Sunda juga bisa berarti tindakan anti-sunnah, sebut saja begitu. 

Tetaplah menjadi hamba Allah yg berakar budaya ke-disini-an, Islamlah secara Nusantara. Jika kita lihat perkembangan saat ini, ada baiknya secara garis besar kita tarik benang pembeda saja, yakni antara kaum "Ahmad" (kaum pengikut ajaran nabi Ahmad SAW (nama lain Muhammad SAW) dan kaum "Ahmaq" (pekok). Salah satu tanda2 kepekokan itu adalah suka mau menang sendiri, tinggi hati, pembenci dan penuh nafsu, koruptif dalam berprilaku, sulit menerima dan mengakui kebenaran orang/kelompok lain, dangkal, suka mengkafir2kan orang, tidak mau belajar dalam arti yg sebenarnya, mengedepankan kekerasan dll. Secara umum kaum seperti inilah yg nyata2 justru menghalangi kerahmatan Islam itu sendiri yg  -- sebagamana disampaikan oleh Rasulullah sendiri -- tak hanya diperuntukkan bagi orang Arab, melainkan lil 'alamin (bagi semesta alam). 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun