(Starry Night oleh Sharon Mick. Ilustrasi: Fineart America)
“Oh candra buana... dengarkanlah.”
Aku sedang memainkan gramofon tua peninggalan orangtuaku di beranda. Piringan hitam berisi lagu-lagu gubahan Ismail Marzuki yang kuputar menghembuskan nafas nostalgia di malam senyapku ini. Lantunan suara yang dihasilkannya masih terdengar merdu walau terbilang usang termakan zaman. Syair indah berpadu romantika dan balada yang menghiasi beberapa lagu turut membangkitkan hasrat imajinasiku mengenai apa yang dinamakan cinta.
Candra buana, usiaku kini sudah memasuki seperempat abad. Waktu yang dianggap tepat bagi kebanyakan orang dewasa untuk segera menemukan pendamping hidup dan melangsungkan indahnya pernikahan, sebuah ikatan resmi atas nama cinta dan kasih sayang. Mendambakan dan merasakan kebahagiaan yang dalam perjalanan hidup mereka. Tentu saja, kebahagiaan yang nyata, bukan kebahagiaan mimpi semu belaka seperti yang disajikan dalam setiap tayangan drama percintaan.
(Fireflies and Moon oleh Sharon Farber. Ilustrasi: Fineart America)
“Kunang-kunang kelana di rimba malam.” “Hiburkanlah hatiku nan dendam rindu.”
Candra buana, aku ingin menjadi seperti kunang-kunang yang berkelana di rimba malam, seperti yang tertuang dalam syair lagu Kunang-Kunang yang sedang kuperdengarkan. Imajinasiku akan cinta menerawang dan menembus batas realita. Aku membayangkan andai suatu saat nanti aku akan memiliki sebuah keluarga yang bahagia. Seseorang yang dengan sedia menunggu kehadiranku di rumah. Seseorang yang menyapa kepulanganku dengan senyum nan melembutkan hati. Seseorang yang menghiburku kala duka menyapa hatiku.
Akan tetapi, jauh di sudut hatiku, ada perasaan takut yang menghinggap hatiku. Takut mencintai dan dicintai. Takut menyakiti dan disakiti. Rasa takut itu sedemikian kuat sampai akhirnya aku tidak mampu memaknai cinta, satu perasaan yang kulihat begitu berharga dan menjadi perinduan dalam setiap perjalanan insan manusia yang kuamati, namun tidak mudah juga untuk memperoleh sekaligus menjaganya sedemikian utuh.
Candra buana, mengapa aku takut? Tiap kali aku berusaha untuk menggapai cinta, ketakutan selalu sediakala datang menghampiri diriku. Ironisnya adalah aku sendirilah yang mengundang rasa takut tersebut. Cinta yang sudah sedemikian dekat, dengan segera lenyap begitu saja karena rasa takut yang membentengi diriku. Hingga pada akhirnya, hanya kekosongan yang selalu setia menemaniku, mengisi bagian dari serpihan jiwaku yang rapuh.