“What we cannot speak about, we must consign to silence.”
--Ludwig Wittgenstein--
Solipsisme atau self-absorption adalah pengertian yang berasal dari pemikiran seorang Sofis, yaitu Georgias. Cukup sedikit informasi yang bisa di dapat oleh salah seorang kaum sofis ini yang hidup sekitar tahun 483 SM. Dia adalah salah satu murid dari Empedokles, kemudian dipengaruhi oleh dialektika Zeno. Georgias menulis suatu buku yang berjudul Tentang yang tidak ada atau tentang alam (On Not Being Or On Nature). Dalam buku ini ia mempertahankan tiga pendirian: [1] tidak ada sesuatu pun; [2] seandainya sesuatu ada, maka itu tidak dapat dikenal; [3] seandainya sesuatu dapat dikenal, maka pengetahuan itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain.
Meminjam konsep dari Solipsisme tanpa beranjak dari makna dan konteksnya, pertanyaannya adalah ketika kita menggunakan bahasa, bagaimana cara mengukur kadar (kuantitatif) bahasa yang digunakan untuk disampaikan dalam komunikasi yang diskursif ketika tidak ada bahasa yang merepresentasikan hal tersebut. Secara ontologi, bagaimana kita bisa yakin bahwa ada hal-hal tersebut yang bisa tersampaikan dan seharusnya bisa disampaikan.
Ketika kita menghadapi hal-hal sulit terhadap ekspresi apa yang bisa mewakili hal tersebut, disini rasio kita ditantang untuk melakukan konversi sebagai dasar terhadap apa yang kita ingin sampaikan. Walaupun terdistorsi, tapi pasti ada yang bisa kita sampaikan. Jika kita tidak bisa menyampaikan hal yang hendak kita sampaikan berdasarkan rasio, maka komunikasi yang diskursif itu gagal untuk bisa tersampaikan. Sebagai analogi, seorang yang menderita Tunawicara, bisa menyampaikan apa yang hendak ia sampaikan dengan Bahasa Isyarat yang bisa menyampaikan hal yang hendak disampaikan. Lain lagi masalahnya, bila seorang yang menderita Tunawicara bertemu dengan seorang yang Tunanetra.
Kunci jalannya sebuah realitas adalah bagaimana seseorang bisa menyampaikan kehendaknya. Sejauh ini, hal tersebut yang masih menjadi misteri yang harus dipecahkan sampai saat ini. Jika ada sesuatu yang tidak bisa tersampaikan (das ding an sich), kita masih akan berputar-putar untuk memecahkan misteri tersebut. Contoh analoginya adalah rasa manis. Untuk mengungkapkan ukuran rasa manis terhadap lawan bicara kita, kita bisa mengabstraksi menggunakan skala satu sampai sepuluh. Orang pertama mengabstraksikan rasa manis itu pada skala delapan, sedangkan orang kedua mengabstraksikan rasa manisnya sendiri pada skala tujuh. Untuk mencapai rasa manis yang dimaksud, kita bisa menjumlahkan skala delapan dengan skala tujuh, kemudian dibagi 2 terhadap pengabstraksi. Didapatilah rasa manis dengan skala tujuh koma lima.
Masalahnya, pengalaman skala satu sampai dengan sepuluh dari setiap orang itu berbeda-beda. Analoginya, terhadap orang yang sering mengkonsumsi rasa manis dengan orang yang baru merasakan rasa manis. Pemecahannya adalah dengan melakukan adu dialog atau diskusi mengenai pengalaman tentang rasa manis masing-masing perorangan.
Berarti, untuk mengungkapkan apa yang kita maksud adalah sedemikian sulit, akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebenarnya sebanding dengan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan komunikasi yang berhasil. Karena untuk mencapai komunikasi yang benar-benar klop, dibutuhkan dasar yang pada awalnya akan menentukan rasa manis itu. Dianalogikan kembali, kita harus sepakat dan mengerti angka desimal satu sampai dengan nol untuk belajar matematika. Di awal sekolah dasar, kita diajarkan angka-angka tersebut untuk digunakan kembali di perguruan tinggi sehingga jika kita dihadapkan dengan persoalan matematis, kita bisa bersama-sama memecahkan persoalan tersebut dengan akurat dan hasil yang sama. Jika seseorang tidak pernah mendapatkan pelajaran angka-angka decimal tersebut, di perguruan tinggi nanti tidak akan didapati hasil yang sama bahkan untuk mengerti pun tidak. Kesimpulannya untuk analogi ini adalah kita tidak akan pernah mendapatkan kesepakatan yang sama bila tidak didapati dasar yang sama.
Analogi lain mengenai bahasa yang dikonvensi adalah warna. Bila kita membuka software editing gambar. Kita pasti menemukan warna yang diukur berdasarkan persetujuan. Untuk warna Hitam, digunakan kode #000000 dan #FFFFFF untukwarnaputih. Dilakukan pengkodean terhadap kualitas warna dikarenakan warna hitam ataupun putih yang sejati itu tidak ada. Warna adalah entitas yang selalu menempel pada entitas lain, seperti; kertas, kain, kayu, dsb. Sebuah kalimat, adalah gambaran dari realitas (A sentence is picture of reality). Begitu juga dengan suara, rasa, aroma, dsb.
Bagi sebagian orang, bahasa diasumsikan sebagai penghalang dalam komunikasi walaupun bahasa masih menjadi satu-satunya media untuk berkomunikasi bagi yang bisa menggunakannya (terlepas dari orang yang menderita Tunawicara dan gangguan psikologis lainnya). Penjara dalam pengertian ini adalah sesuatu yang membuat kita menjadi berputar-putar. Sekilas, makna penghalang dengan penjara itu sama dan mungkin maknanya bisa dipahami, tapi korelasi konkritnya belum bisa tersampaikan.
Padahal, dengan bahasa kita tidak terhalangi hanya saja kita terpenjara dan berkutat di sekitar pengertian itu. Apabila kata penghalang digunakan, ketika penghalang itu sudah terbuka dan setelah terbuka ada penghalang lagi. Penghalang bahkan bukan salah satu ontology yang patut dipertimbangkan karena bisa ditembus. Nah, di sini permasalahan filosofisnya. Yang dimaksud penjara adalah mekanisme dari penghalang itu sendiri. Analogi dari penghalang yang terus-menerus ada setelah terlewati adalah perbendaharaan kata yang masih bisa diperluas seiring berjalannya waktu. Kesimpulannya adalah, kita akan terus terpenjara dalam lingkaran bahasa. Kita tidak akan bisa keluar dari lingkaran bahasa tersebut tapi sesungguhnya kita masih bisa memperluas kungkungan dari terbukanya serangkaian penghalang bahasa tadi seiring berjalannya waktu. Apa-apa yang tidak bisa kita ungkapkan, satu kalimat yang dikatakan oleh Filsuf Bahasa Ludwig Wittgenstein dan berada di point ke tujuh, point terakhir dari Bukunya yang berjudul Tractatus Logico-Philosophicus adalah “…Let Silence Speak…”
Dari Bahasa Latinsolusyang berarti 'sendirian' danipseyang berarti 'diri'. Lihat Loren Bagus. 2000. Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal. 1028-1029.
Lihat Dr. K. Bertens. 1989 (dengan revisi). Sejarah Filsafat Yunani: Dari Thales ke Aristoteles (Jakarta: Penerbit Kanisius), Bab 3 hal. 73-74.
Ketiga pendirian ini disokong dengan banyak argument. Soalnya ialah bagaimana kita harus mengerti maksud Gorgias. Ada sejarawan yang berpendapat bahwa yang ia maksudkan memang seperti diucapkannya dengan ketiga pendirian ini. Kalau demikian, Georgias bukan saja menganut suatu Konsep Solipsisme, Skeptisisme (anggapan bahwa kebenaran tidak dapat diketahui), melainkan juga memihak kepada Nihilisme (anggapan bahwa tidak ada sesuatu pun atau bahwa tidak ada sesuatu pun yang bernilai).
Sebenarnya, setiap permasalahan akan terpecahkan seiring perkembangan jamannya. Seperti misteri das ding an sich yang pada masanya dianggap hanya terpecahkan oleh kematian. Sampai ditemukannya suatu disiplin ilmu yang bisa memecahkan misteri das ding an sich itu di jaman selanjutnya. Disiplin ilmu tersebut bernama Fenomenologi. Biasanya, permasalahan subjektif bisa diatasi dengan solusi inter-subjektif (Akumulasi dari permasalahan subjek-subjek) dimana persamaanlah yang menjadi fokus penyelesaiannya.
Konsep lainnya adalah mengenai Konvensi. Untuk memahami sebuah Negara, digunakan Ideologi Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dsb. Jika ada seseorang dengan Paham Liberalis (misalnya) mengikuti sebuah diskusi tentang Negara, sudah dipastikan tidak akan menemui titik terangnya.
Lihat Ludwig Wittgenstein. 1974 (revised edition). Tractatus Logico-Philosophicus (London&New York: Rouletge Classics), hal. 23.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H