“Dahulu, kau bilang aku adalah malaikat. Aku setuju. Karena setiap aliran deras kata-katamu selalu menghujamkan jantungku, buatku terbang sampai ke langit tujuh. Ah, tapi sayangnya. Itu. Dulu.”
Di setiapmalam dan keseharianku, mengunjungimu adalah rutinitas yang takkan bisa ku elak. Bukan. Bukan mengunjungi. Tapi kembali ke surga setelah aku melaksanakan tugas. Dari seorang Dewi. Itulah namanya. Sangat menggambarkan. Parahnya, aku adalah malaikat yang mengikuti perintah dari seorang Dewi.
Tapi, bukankah Malaikat dengan Dewi adalah makhluk yang berbeda? Dahulu tidak. Kini. Ya. Mungkin.
***
Dewi. Dewi. Dewi. Pertama ku mengenalnya, di sekolah dasar, ia masih seorang yang asing di mataku. Cantiknya, biasa. Rambutnya, biasa. Hidungnya, biasa. Matanya, biasa. Cara ia berbicara. Biasa. Yang luar biasa adalah pertama ku melihatnya sudah bisa mendeskripsikannya begitu lengkap. Dengan biasa.
Awal masuk sekolah menengah pertama, ada seorang gadis paruh baya bertamu ke rumah. Siapa dia? Dia adalah Ibunya. Ibunya dengan ibu ternyata teman sewaktu kecil. Kedatangannya seperti membangun pintu surga yang nantinya akan sering ku lewati, bahkan kusinggahi dalamnya.
“Aku mulai jatuh cinta!”
Saat itu kami di kelas dua. Ia begitu cantik Ah! Bukankah cantik yang biasa? Ya. Aku setuju Cantik yang biasa dimiliki oleh seorang Dewi khayangan. Haha. Aku mulai sering melamun dan termenung. Akankah ku miliki dia? Seorang Dewi? Baik, tekadku sudah teguh, kini seorang kunang-kunang berlagak akan terbang ke bulan.
“Sayap kunang-kunangku patah, rapuh oleh badai. Terbakar di atmosfer!”
Dia sudah dimiliki. Tidak. Ia baru saja dimiliki. Bagus. Oleh seorang Bagus. Ya. Itu namanya. Sesungguhnya, jika aku bisa menjadi ayahnya, aku akan menamainya buruk, seburuk-buruknnya nama yang buruk. Karena sangat menggambarkan dia. Jijik. Cih!!!
Aku jatuh. Gesekan udara dari atmosfer membakarku habis. Aku bukanlah apa-apa. Aku bukanlah siapa-siapa. Tubuhku hangus. Kering. Menghitam oleh api. Tak sanggup aku meneteskan air mata. Walaupun setitik. Aku terjatuh.
Kini. Akulah sang abu. Yang hidupnya abu-abu. Kelam dan abu. Kelabu. Lengkap sudah penderitann ini. Kini. Aku terombang-ambing. Terhembus angin sepoi yang dahulu membelai lembut kulitku, kini malah mencabik. Aku.
***
“Aku. Seorang kunang-kunang, terbangun, dari mimpi yang paling buruk. Ternyata aku sudah dipangkuannya. Syukurlah!” aku membatin.
“Kau sudah terbangun? Malaikat kecilku?” bisiknya lembut menerobos gendang telinga.
“Ah, Dewi!” mengeluh manja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H