Hari ini. Sore ini. Entah berapa lama telah ku menatapnya. Ya. Senja. Semuanya tentang senja hari ini.
Siapa lagi kalau bukan mentari di ufuk barat yang sedang sekarat. Ia masih ingin bersinar. Menunjukkan bahwa ia masih mampu menyinari sisi-sisi yang tak tersinari. Bodohnya engkau. Mau saja mempedulikan orang yang tidak peduli dengan keberadaanmu.
Orang-orang mungkin berkata, "Memang sudah sepantasnya ia seperti itu. Apanya yang spesial?"
Ya. Orang-orang. Orang-orang yang sudah terbiasa melihat sosokmu dari timur dan beranjak ke barat. Hanya penyair yang masih menaruh perhatian terhadapmu. Menaruh puji-pujian yang meluluhkan. Atau mungkin penyair juga sudah tidak dipedulikan orang banyak?
Sekarang. Di sini. Di sudut pagar ini. Aku sedang menemanimu. Tak usah cemas kawan. Aku senasib denganmu kawan. Astaga! aku sudah mulai menyebutmu kawan. Mungkin karena kita sama-sama sendiri. Tak punya teman. Tidak seperti rembulan yang selalu ditemani oleh gemerlapnya bintang-gemintang.
Sekarang. Di sini. Di sudut kamar ini. Aku sedang ditemani olehmu. Kawan yang sama-sama senja. Dengan tabung oksigen yang menembus paru-paruku. Aku menderita asma. Aku sekarat, sembari menghitung detik yang berdetak dan numpang lewat.
Bersamamu........"Aku ingin hidup seribu tahun lagi..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H