Saya yakin anda akan terkejut dengan judul opini ini, sebab semua tahu bahwa justru Inggris lah yang bermulut besar dengan medianya yang selalu berkoar-koar dan mencari makan dari sensasi yang kadang dibuat-buat. Saya membuat judul di atas untuk mencoba menerangkan apa yang terjadi dengan Timnas Inggris dan Timnas Belanda dalam kancah sepak bola dunia pada tahun-tahun terkahir ini. Mari kita mulai.
Poros Tradisional
Secara tradisional sepak bola di kawasan Eropa memiliki 4 poros, yakni Inggris, Belanda, Italia dan Jerman. Pada masa lalu anda dapat mendengar nama seperti Hongaria dan juga Uni Sovyet, namun kisah mereka tinggal nama seiring makin meredupnya prestasi dari negara tersebut.
Kembali ke masa lalu, Belanda adalah tim yang menerapkan total football secara sempurna pada masa jayanya. Inti dari total football adalah “ Biarkan Bola Datang Padamu”. Semua orang tahu bahwa Rinuls Michels adalah sutradaranya dan Johan Crujff adalah penerjemah apa isi kepala Rinus Michels di lapangan. Puncak dari total football adalah ketika Belanda menjuarai Piala Eropa 1988 dengan trio mautnya Van Basten, Gullit, dan Rikjkrad. Praktis setelah masa itu Belanda tidak lagi mampu menggondol juara dalam kompetisi Eropa maupun dunia. Peluang mereka ada pada tahun 2010 kala bertemu Spanyol di final Piala Dunia Afsel, namun kandas di kaki Spanyol. Pada tahun 2000 juga mereka berpeluang menjuarai Piala Eropa karena menjadi tuan rumah bersama Belgia, namun apa lacur gelar itu juga terbang seiring terbangnya bola hasil pinalti Jaap Stam.
Bagaimana dengan Inggris? Negara yang memproklamirkan diri sebagai negara sepak bola modern dan pemilik kompetisi terbaik dunia ini tidak lebih baik secara prestasi dari Belanda. Hanya satu trofi piala dunia yang mereka raih dan itu pada tahun 1966 dengan prinsip Kick n Rush. Ada kerinduan tersendiri bagi publik Inggris untuk mengulang masa kejayaan tersebut. Hal ini tampak pada setiap pencitraan yang dibuat media Inggris kala timnasnya bertanding, jika saya diizinkan mengatakan pencitraan berlebihan, itulah yang hadir pada media Inggris jika menunjukkan timnya pada dunia.
Masalah Komunikasi dan Kepelatihan
Setelah kita melihat apa yang terjadi pada masa lalu yang tinggal kenangan dalam kejayaan, kini kita lihat apa salah satu masalah mendasar untuk kedua tim tersebut.
Kita mulai dari Inggris. Secara personal orang Inggris adalah orang yang percaya kepada para ahli yang dalam anggapan mereka sudah pakar di bidangnya. Sehingga apapun yang disampaikan oleh para pakar tersebut akan mereka iyakan meskipun dalam hati ada keraguan. Intinya mereka tidak suka untuk mendebat apa yang ada dalam pikiran pelatih. Mereka tidak suka berkonfrontasi dengan para pakar dan cenderung mendiamkan hal- hal tersebut serta menjauhkannya dari media jika itu adalah sebuah perdebatan.
Bagaimana efeknya ke sisi timnas? Anda bisa lihat, sifat yang mengiyakan apa kata pelatih itu membuat para pemain tidak memiliki inovasi dan improvisasi. Ketika mereka dihadapkan pada proses kepelatihan, hal yang terjadi di lapangan adalah kenyataan bahwa pelatih / manajer asli Inggris anda bisa kita hitung dengan jari anda. Mungkin Alan Pardew, Tery Venables, atau Alex Ferguson (eitts salah dia orang Skotlandia).
Bagaimana dengan Timnas Belanda? Kebalikan dari apa yang terjadi di Inggris, mereka adalah orang-orang yang selalu ingin mendikte apa kata pelatih dan orang yang dianggap pakar. Jika pelatih mengatakan kita harus begini, maka orang Belanda akan mengatakan bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu, apa salahnya kita buat seperti ini dan itu tidak jarang di depan hidung pelatih. Hal itu lah yang menjadi boomerang bagi timnas Belanda, pasca Johan Crujff mundur dari sepak bola, tidak ada lagi wadah yang bisa menampung dan menengahi ego setiap pemain yang memang bintang di setiap posisi. Bukan hal yang tabu jika Klass Jan Huntelaar mengkritik kepelatihan Van Marwijk yang lebih mengutamakan Van Persie dan itu di sampaikan di media.
Hal tersebut menjadikan nama-nama seperti Van Basten, Seedorf atau Kluivert memiliki suatu modal untuk menjadi pelatih besar di kemudian hari dan nama pertama sudah membuktikannya. Mungkinkah mereka mengikuti jejak Rinus Michels, Crujf, atau Van Gaal?
Inti dari apa yang saya tuliskan ini adalah sebuah kisah yang dimuat di 442 Indonesia,
Kamar ganti Real Madrid, saat jeda sebuah pertandingan. Pelatih Madrid saat itu, Fabio Capello, tengah memberi ceramah dan instruksi kepada para pemain saat tiba–tiba seorang pemain belia menyelanya untuk kemudian mengungkapkan ide–ide taktiknya sendiri. Kita harus begini, kita sebaiknya jangan begitu, kalian harus mengumpan padaku, .... ucapnya dengan penuh percaya diri. Don Fabio seketika membuka jaket klub yang ia kenakan dan melemparnya ke hadapan pemain muda itu, sambil berkata, “kalau kamu tahu banyak soal taktik, kenapa tidak kamu saja yang jadi pelatih??!!” McManaman hanya terpelongo dan di kemudian hari ketika ia menceritakan kisah ini, dia berkata
“ kami di Inggris tidak terbiasa dan tabu untuk bersikap demikian, apa kata pelatih kami usahakan untuk melakukannya karena kami percaya apa yang ia katakan adalah untuk kebaikan tim.”(seperti diceritakan Steve McManaman kepada jurnalis Belanda Simon Kuper).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H