Mohon tunggu...
Muhammad Fikrillah
Muhammad Fikrillah Mohon Tunggu... Swasta -

Pembelajar hingga batas terjauh.\r\nAyah dari Muhammad Abiyyu Maisan \r\ndan Muhammad Dzaky Naufal. \r\nMotto "hidup, berarti, dan tiada". \r\nAkumulasi asa, serpihan coretan, dan kegalauan terhadap lingkungan sekitar. Lewat kata, mari menyuarakan. Saatnya berekspresi, keluar dari pasungan yang membungkam dan mengekang kebebasan. Terimakasih atas kesediaan Anda mampir di dinding ini. Coretkan apa saja. Semoga kita menjadi teman yang menyenangkan, berbagi pengalaman hidup, suka-duka, rajutan cerita, dan sudut pandang. Salam hangat… \r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tsunami Moralitas, Fenomena Democrazy

16 April 2014   08:51 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhir November 2013 lalu, ada perhelatan pemilihan kepala desa (Pilkades) yang ingin saya intip ujung prosesinya. Lokasinya di kampung saya, wilayah ujung Timur NTB. Saya ingin melihat dinamika lain yang mengiringinya.

Arena Pilkades, sejauh ini, menyimpan banyak sisi yang mendesak dicermati. Demokrasi langsung yang dulu sering diagungkan dalam kerangka membandingkannya dengan cara pemilihan elit melalui perwakilan di legislatif, tidak lagi ideal. Demokrasi ala desa telah dirusak oleh sikap pragmatisme, politik transaksional, dan intervensi komunitas penjudi.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa arena Pilkades adalah arena perjudian secara terbuka. Suatu pemandangan ironis, karena tidak saja melibatkan kaum dewasa, tetapi juga wanita dan anak-anak. Mereka adalah Muslim. Lebih ironis lagi, mereka yang sudah ber-haji dan ber-hajjah juga terlibat tanpa perasaan bersalah. Oknum guru pun menjadi pemain.

Geliat pertaruhan mereka menjadi tontonan publik. Bahkan, ada yang menilai sudah lama menjadi “tuntunan” bagi generasi belia, karena terjadi di depan mata bening mereka. Bukankah ini kemerosotan keteladanan yang parah? Pilkades juga sangat sensitif memicu kerusakan harmoni. Mereka yang berseberangan sikap secara politik tidak dewasa menyikapinya, karena memenggaruhi pola perilaku pada aspek lainnya.

Pergerakan para penjudi tidak saja mewarnai gerak degradasi moralitas sosial, tetapi juga memenggaruhi perolehan suara para calon. Masalahnya, mereka bertaruh tidak hanya ‘duduk manis’ menunggu hasil penghitungan. Mereka bergerilya dengan melepas sebagian nilai taruhan yang bakal diraih jika menang. Mereka diduga kuat membayar warga untuk memilih calon tertentu.

Kalaupunada yang memberi bonus nilai 50 atau 100 kepada lawan taruhan, itu mengisyaratkan ada warga sebanyak itu yang dipengaruhi. Kalau taruhannya Rp10 juta, maka mereka bisa merelakan Rp5 juta untuk memainkan suara.

Dalam level mobilitas warga dan kaum muda melalui beragam teknologi saat ini, kemudahan memenggaruhi massa sangatlah terbuka. Dengan kata lain, agresivitas para penjudi adalah ‘pemain tambahan’ dalam kompetisi Pilkades. Kecenderungan arah taruhan mereka berpengaruh terhadap hasil. Soal dinamika pertaruhan ini sudah menjadi konsumsi umum. Lagi-lagi, pemberontakan bahasa protes warga hanya sekadar membatin.

Tidak hanya judi beraroma Pilkades, penjudi Toto Gelap (Togel) pun sudah terang-terangan menunjukkan diri. Memang ada sejumlah agen yang dicokok, tetapi itu hanya bagian kecil dari arus hilir. Arus utama di hulu yang menyemburkan percikan pada berbagai areal itulah yang harus diamputasi pergerakannya. Rasanya, tidak terlalu sulit bagi Intel Kepolisianmengendusnya, karena pembicaraan soal judi kupon putih adalah menu dua atau tigakali sepekan yang menyeruak di tengah perkampungan. Bukankah mengendus para terduga kejahatan lainnya aparat lincah bergerak? Komitmen aparat di titik ini sangatlah krusial dan ditunggu publik.

Dalam sudut tilikan agama, apa yang tersuguhkan adalah rangkaian degradasi moralitas dalam porsi menguatirkan. Tanggungjawab siapa? Ya, kita semua.Hanya saja, fenomena buruk ini harus segera diakhiri, diamputasi secepatnya. Kemungkaran yang sudah kadung membudaya itu sangat berbahaya bagi bangunan masa depan peradaban.

Ini jelas menggambarkan fenomena patologi sosial dalam kualifikasi parah. Telah terjadi praktik massifitas kemaksiatan dan samasekali tidak mampu dicegah. Mengapa demikian? Sampai kapan? Pertanyaan yang mesti didalami oleh kolektivitas kesadaran ruhaniah kita.

Mesti ada upaya pencegahan, tidak cukup hanya dengan rangkaian imbauan dan saran. Intervensi mereka yang punya kekuasaan diperlukan, mereka yang lihai mendekati masyarakat ditunggu perannya.

Jika sudah tidak ada lagi cara, maka membatin dan meyayangkannya dalam hati kecil adalah keterpaksaan, meskipun itu selemah-lemahnya tanda keimanan. Inilah yang disinggung oleh hadis Nabi. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiallahuanhu berkata: Saya mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman. (Riwayat Muslim)

Hadis itu dimaknai bahwa menentang pelaku kebatilan dan menolak kemungkaran adalah kewajiban yang dituntut dalam ajaran Islam terhadap setiap Muslim, sesuai kemampuan dan kekuatannya. Ridha terhadap kemaksiatan termasuk di antara dosa-dosa besar. Amal merupakan buah dari iman, maka menyingkirkan kemunkaran juga merupakan buahnya keimanan. Mengingkari dengan hati diwajibkan kepada setiap Muslim, sedangkan pengingkaran dengan tangan dan lisan berdasarkan kemampuannya.

Saya ingin memungkasi coretan bebas ini dengan menyatakan bahwa kualitas keimanan kita masih dipertanyakan. Maksimalisasi upaya belum serius ditunjukkan. Kita umumnya masih bergerak pada aksi diam atau membatin, tidak maksimal dengan tangan (kekuasaan) dan lisan. Suatu maqam keimanan pada tingkat rendah. Kita tidak berdaya ketika gerilya penjudi secara massif memasuki hingga ruang pribadi.

Massivitas perilaku buruk yang tanpa hadangan kuat dari aparat, ulama, dan masyarakat seperti ini, dalam jangka panjang, akan mereduksi nilai moralitas sosial. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa gejala tsunami moralitas sosial telah mencengkram setiap lini kehidupan Dou Mbojo, bergerak telanjang, dan menari-nari di depan mata jernih kita. Sampai kapan?

Rangkaian panorama buruk itu jelas menggambarkan ada yang perlu direnungi dari demokrasi ala desa itu. Jika kemungkaran di depan pelupuk mata itu masih membudaya pada setiap desa, maka sesungguhnya kita sedang menyemai benih kebangkrutan sosial. Itu praktik ‘democrazy’ atau tontonan kegilaan perilaku masyarakat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun