Namanya H. Yakub M. Tayeb. Umurnya sekitar 73 tahun. Dia adalah satu di antara sembilan calon Kepala Desa (Kades) Maria Kecamatan Wawo Kabupaten Bima yang bertarung di arena Pilkades, pertengahan April 2013 lalu. Meski hanya mendapat 51 suara dan tercecer di urutan belakang, namun semangat gempurannya tidak pernah pudar.
Perlawanan lunak pihak keluarga agar memberi kesempatan kepada kaum muda saja, ditolaknya mentah-mentah. Dia kukuh bertahan. Prinsipnya, sekali layar dinaikkan, samudera harus diarungi meski gelombang menanti.
Rupanya, kakek itu bukan tipe orang yang mudah menyerah. Kehidupan telah mengajarkannya agar kukuh bertahan di tengah persaingan. Termasuk arena politik yang dikenal keras dan tidak terduga itu. Bahkan, penuh intrik kotor. Semangat Pak Tua itu merupakan satu pelajaran bagi kaum muda, tidak boleh menyerah pada kegagalan dalam kesempatan pertama.
Ada sisi fisik yang oleh sebagian orang menggelikan. Gigi kakek itu hanya tinggal dua biji doang…Tentu ada pesan simbolik yang ingin disampaikannya. Kaum muda mesti menggelorakan semangat maju ketika melihat celah peluang. Kepengecutan kaum muda bermental menerabas disindirnya. Jika diawetkan, mereka akan tercecer di belakang panggung sejarah. Pasti!
Kisah Tayeb adalah contoh lain dari ambisi merebut kekuasaan. Meski Tayeb menyatakannya ingin seperti ‘tut wuri handayani’, di belakang memberi keteladanan, namun aroma kekuasaan tetap melekat. Sisi ini yang perlu direfleksi, yakni bagaimana meluruskan titik berangkat niat untuk menjadi pemimpin.
Apa yang dilakukan Tayeb, hampir sama dengan ambisi tujuh pasangan Wali dan Wakil Wali Kota Bima Provimsi Nusa Tenggara Barat periode 2013-2018 saat Pemilukada lalu. Mereka berkampanye mendulang simpati pemilih. Beragam program yang dibalut dalam janji (dan kontrak politik?) menggaung di panggung kampanye. Ada yang berebutan membandrol dana stimulan untuk setiap kelurahan, dari Rp1 miliar hingga Rp2,5 miliar. Arena Pemilu Legislatif 2014 pun sama saja. Dipenuhi deretan janji politisi pada beragam bidang kehidupan. Janji adalah ‘makanan pokok dan menu harian’ politisi.
Jika diamati, tidak ada yang baru dengan janji mereka. Nyaris sama dengan periode sebelumnya. Demikian juga daerah lain. Para politisi memang seperti itu, sejak awal mengidentifikasi masalah, peluang, ancaman, dan tantangan, lalu memetakannya untuk kemudian disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia. Setelah itu, diramu dalam cara pandang yang jauh ke depan (visi), di-break down dalam misi dan detail program. Ditawarkan kepada publik dari beragam metode kampanye.
Dari sini, publik mesti cerdas menyikapi. Mencatat atau mengingat janji mereka, selanjutnya ditagih ketika terpilih. Namun, gambaran mekanisme ideal ini hanya efektif pada lingkungan pemilih rasional.
Selama ini terkesan bahwa perhelatan seperti itu terjebak dalam politik transaksional. Pilihan politik pun tidak jelas. Saat ini, masyarakat diidentifikasi masih melihat kompetisi berdasarkan pertimbangan kekeluargaan dan kekerabatan. Ciri seperti itu merupakan masyarakat tradisional yang mengandalkan pertalian darah. Pilihan berdasarkan keluarga, tetangga, dan sesama tempat lahir. Ada yang memformulasikan, kalau dasar pilihan masyarakat lebih kuatpada pendekatan tradisional, maka konflik sangat rentan.
Politik transaksional pun punya implikasi buruk bagi kesehatan demokrasi. Ketika perhelatan usai, maka usai sudah ikatan antara politisi dengan konstituen. Makanya, ketika ada wacana membuat kontrak politik, semangatnya adalah agar ikatan itu tetap ada. Masyarakat tetap mengintip pergerakan politisi agar tidak keluar dari garis normatif yang ditetapkan.
Kapan kita mandiri dan dewasa dalam pilihan-pilihan? Tampaknya masih membutuhkan waktu relatif lama. Hingga saat ini, kita masih tertatih-tatih menaiki tangga kedewasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H