Itulah sapa hangat seorang taiwanese ketika pertama kali kami berjumpa, perjumpaan yang singkat yang tentunya tak ada harapan tuk bertemu lagi. Ia adalah seorang sopir Bus Kota no 40 di Taichung City. Kami bertemu tak sengaja setelah beberapa menit diriku menunggu BUS 30 atau 40 di dekat “pyramid”, tempat BUS menaikkan dan menurunkan penumpangnya, lokasinya tak jauh dari Stasiun Kereta Api Taichung.
Perjalanan 1,5 jam dari Chungli dengan tujuan akhir di Masjid Taichung, Hari sabtu ke tiga Ramadhan lalu. Lelah yang terasa, mendadak hilang begitu kaki ini melangkah naik ke atas BUS itu, sapaan hangat sang sopir membuatku terperanjat. Assalamu’alaikum.. Nali!? ucapnya dengan fasih, ah.. subhanallah, Allah selalu punya cara untuk menyenangkan hambanya. Ucapan salam yang begitu singkat dan tulus itu, walau muncul dari seorang non muslim mampu membawa rasa aman dalam hati ini.
Setelah sadar akan adanya pertanyaan yang diajukan kepadaku, sesuai petunjuk seorang kawan yang kuminta lewat SMS, kujawab saja dengan jawaban singkat itu ” Taichung, Jinchense, Tatun Lu“, dia mengerti, dan akupun duduk persis dibelakangnya. Kurasakan ada nikmat yang hadir dalam diriku, ya rasa aman dan nyaman, sebuah nikmat yang jarang sekali kutemukan, bahkan di negara sendiri. Bepergian keberbagai tempat di taiwan, tuk sekedar bertemu dengan teman teman mahasiswa dan pekerja terasa tanpa beban, tak ada ketakutan apapun, walau sering kali diriku nyasar ke arah lain.
Teringat waktu pertama kali ke jakarta, untuk mencari data di bogor. Aku sempat menginap di jakarta timur di sebuah pemukiman padat khas pinggiran ibukota. Suasananya tak membuatku tenang, perasaan akan bertemu geng gila atau pemabuk di gang gang sempit itu selalu menghantuiku.. Di kesempatan lain, ketika harus naik kopaja, dengan entengnya kenek itu membentakku dan menyuruhku turun dari kopajanya. Sama juga, kejadian di jembatan merah surabaya, begitu naik lyn, angkutan kota di surabaya, dengan ringannya pak sopir mengusirku keluar dari Lyn nya. Di desapun seperti itu, setiap malam selalu dihantui perampokan dan pencurian yang begitu rajinnya hadir di kampungku. Ah, belum lagi teror kecopetan disetiap keramaian, di masjid bahkan di acara pengajian!
Untuk masalah kenyamanan dan perasaan aman ini, ku acungkan jempol untuk Taiwan, negeri dengan mayoritas berpenduduk budha ini. Walau umat islam yang menjadi warga negara ini hanya 38 ribu jiwa saja, ditambah 150 ribu penduduk musiman dari para pekerja migran dari indonesia. Walau banyak hal yang tidak islami, tampaknya banyak juga nilai nilai islam yang telah menjadi budaya dan perangai sosial masyarakat sini. Dan anehnya, nilai nilai ini teramat susah ku jumpai di negeriku yang mayoritas penduduknya beragama islam.
Ah, seandainya saja, negeri ini dipenuhi oleh orang orang yang beriman pada Allah, alangkah mudahnya menemukan sopir sopir bus menyambut penumpangnya dengan “Assalamu’alaikum, Nali?”, begitu juga dengan masyarakat yang bekerja di sektor lain.
Bagaimana wajah islam di negeri ini beberapa puluh tahun ke depan, menjadi pertanyaanku sampai saat ini. Setiap tahun diperkirakan ada 100 muallaf baru di seluruh taiwan, namun sangat disayangkan, gelora dakwah dan semangat berislam masyarakat lokal boleh dikata agak rendah. Bisa terlihat dengan jelas, dari masjid masjid yang ada di sini, kehidupan di masjid, bagaimana keterikatan dengan masjid dan upaya menghidupkan masjid. Tidak menjadi rahasia umum lagi, jika masjid masjid di sini, hanya ramai oleh pendatang. Tak terbayangkan apa jadinya masjid yang berjumlah 6 itu tanpa para pendatang, tak terbayangkan apa jadinya jika tidak ada imigran dari thailand dan myanmar yang migrasi dari negara mereka dan rela menetap disini, menikah dan menjadi warga negara taiwan. Tak terbayangkan apa jadinya, jika tak ada muslim pakistan dan india, yang begitu giatnya berbisnis dan begitu dermawannya mereka menafkahi masjid. Tak terbayangkan, jika tak ada pekerja migran dari indonesia, yang selalu memenuhi masjid tatkala bulan ramadhan, menjadi separuh jamaah jumat dan selalu bersemangat dalam berdakwah.
Ah, umat muslim taiwan, bukanlah umat baru, yang muncul dengan tiba tiba. Bukan pula umat pendatang atau orang asing baru di pulau kecil ini. Umat islam, telah ada di sini sejak abad ke 17, mereka adalah para tentara dan pegawai pemerintah di daratan china, yang menyeberang ke taiwan untuk membebaskan taiwan dari penjajahan belanda. Mereka adalah para mujahid pembebas taiwan dari penjajah!. Di tahun 1949, Jumlah mereka juga bertambah dengan kedatangan 20.000 Muslim baru, para pendukung Partai Nasionalis Kuomintang, yang memilih hijrah daripada takluk dibawah Partai Komunis China.
Umat islam taiwan, punya sejarah panjang, kubertanya dalam diri ini, apa sebab mereka tidak bisa besar dengan pengalaman sejarah seperti itu. Mungkin benar, apa yang dikatakan oleh Profesor Lien Ya Tang, salah seorang sejarahwan taiwan. Kata beliau, meskipun banyak penduduk lokal yang beragama Islam, umat muslim dipulau ini tidak aktif menyebarkan agamanya, tidak aktif berdakwah. Bahkan, mereka juga tidak membangun masjid di pulau ini.
Dulu, Indonesia juga didominasi oleh non muslim, kemudian berkembang menjadi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, bukan oleh kerja keras penduduk lokalnya saja, tapi karena campur tangan orang asing, campur tangan para pendatang dari timur tengah, dari gujarat, dari india bahkan dari china daratan. Itu artinya, perjuangan menegakkan kalimat Allah di bumi ini, bukanlah semata mata menjadi tugas berat muslim taiwan, tapi juga menjadi tugas berat kita, para pendatang dari berbagai negara. InsyaAllah, saatnya nanti, akan semakin mudah mendengar salam itu menyapa telinga kita: Assalamu’alaikum, Nali!?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H