Sepertinya kita semua cukup dikejutkan dengan berita bahwa beberapa Bank di Amerika Serikat yang cukup besar kolaps seketika karena kondisi likuditasnya. Silicon Valley Bank (SVB) Bank yang berdiri pada 1983 tersebut membutuhkan suntikan modal karena banyaknya klien mereka yang menarik simpanan. Signature Bank ditutup oleh regulator pada Minggu malam waktu AS, dua hari setelah SVB. Silvergate Bank ternyata mengalami nasib yang sama. Silvergate mengatakan bahwa mereka akan menghentikan operasi dan melikuidasi banknya. Dan ada Credit Suisse serta First Republic Bank yang juga sedang dalam ancaman kolaps pascakejatuhan SVB.
Kita semua tau bahwa konsep model bisnis bank adalah lembaga intermediary, dimana bank yang akan mempertemukan pemilik dana (deposan) dengan pengguna dana (debitur) yang sekaligus menjadikan bank selalu berkonsentrasi untuk mengelola risiko likuiditasnya. Risiko likuiditas bank timbul karena bank menerapkan konsep fractional reserve yaitu menyalurkan dana yang disetor oleh para deposan untuk mendapatkan keuntungan dari pengelolaan dana "nggangur" tersebut.Â
Secara ilustratif Fractional reserve banking model itu dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa pada mulanya Bank akan menghimpun dana deposan (hutang), misalnya Rp. 100.000,- dan kemudian bank melakukan pencadangan sebesar 10% atau Rp. 10.000,- artinya Bank berhak menyalurkan kredit (aset) sebesar Rp. 90.000,- kepada para debiturnya dengan menetapkan keuntungan misalnya 5% per tahun, dan tentu saja Bank akan mendapatkan penghasilan Rp. 4.500,- dari dana yang bukan miliknya.Â
Yang lebih luar biasanya lagi adalah saat uang pencairan kredit kepada debitur Rp. 90.000,- tersebut masih disimpan pada rekening di Bank tersebut, maka Bank secara otomatis akan mendapatkan peningkatan jumlah nominal di balance sheet-nya. Dan kemudian apa yang terjadi? Yup betul sekali, Bank akan mencatatkan peningkatan dana Deposan menjadi Rp. 190.000,-. Dan kejadian diawal terus berulang dan menggulung.
Sejak tahun 2005, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan telah mendirikan Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan (PPSP) yang bertindak sebagai salah satu Special Mission Vehicle (SMV) untuk melakukan kegiatan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2008 juncto 19/2005, adalah membangun dan mengembangkan Pasar Pembiayaan Sekunder Perumahan (PPSP) yakni adanya pasar pembiayaan perumahan atau pasar primer yang kuat dan efisien sebagai landasan berdirinya PPSP agar tidak rentan terhadap gejolak ekonomi dan keuangan.
PPSP memang berkegiatan di second layer dari transaksi pembiayaan perumahan. Penyalur Pembiayaan Perumahan seperti Bank, Multifinance, BPR, atau pun BPD yang menyalurkan KPR tetap menjadi first layer atau penyalur pembiayaan primer tetap menjadi pihak yang akan melakukan transaksi dengan end customer atau masyarakat yang akan mengajukan KPR atau pun pihak2 yang membutuhkan pembiayaan terkait perumahan.
Kita semua tau kalo lembaga keuangan seperti perbankan adalah lembaga intermediary yang mempertemukan pihak yang punya uang dengan pihak yang butuh uang, yang menjadi concern disini adalah jangka waktu pembiayaan untuk kepemilikan rumah (KPR) termasuk ke dalam kelompok tenor jangka panjang, bisa sampe dengan 20 tahun loh bahkan ada yang menawarkan hingga 30 tahun.Â
Sedangkan dana yang digunakan Bank adalah dana yang dihimpun dari masyarakat dalam bentuk giro, tabungan atau pun deposito yang masing-masing tenor nya maksimal hanya 1 tahun. Hal ini loh yang menjadi Bank sebagai intermediary menjadi lembaga yang memiliki risiko solvabilitas yang tinggi.
Kegiatan utama PPSP adalah Sekuritisasi KPR, yaitu sebuah proses yang memungkinkan bank untuk mendanai pertumbuhan aset KPR dan khususnya menghilangkan risiko kredit maupun mengurangi tekanan pada kewajiban rasio permodalan, dengan cara apa? PPSP akan men-transformasi aset berupa tagihan KPR yang ada di balance sheet-nya perbankan menjadi surat berharga dalam bentuk Efek Beragun Aset (EBA), yang kemudian EBA tersebut dijual kepada para investor sehingga risiko solvabilitas perbankan menjadi terminimalisir.
Dan jika transaksi sekuritisasi belum diminati oleh industry perbankan saat ini karena berbagai macam alasan, maka PPSP juga bisa memberikan pinjaman bilateral untuk backup dana penyaluran pembiayaan perumahan (KPR) yang dilakukan oleh perbankan, hal ini dimaksudkan untuk me-matching-kan dana kelolaannya. Jika ada kebutuhan likuditas dari perbankan maka PPSP menjadi channel solusinya.
Manfaat yang paling signifikan atas kehadiran PPSP sebagai Special Mission Vehicle Pemerintah adalah berperan aktif untuk memastikan setiap warga negaranya dapat hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tentunya hal tersebut perlu dicapai dengan tidak menimbulkan masalah lain, yaitu risiko likuiditas perbankan sebagai penyalur utama pembiayaan perumahan yang memiliki dampak sistemik. Seperti cerita diawal paragraph artikel ini tidak kita harapkan terjadi di Indonesia, yang ujungnya tentu saja Pemerintah harus turun tangan.Â