Akhir-akhir ini saya sering merasa sedih. Bukan karena kucing tetangga hilang, melainkan karena bangsa tercinta tengah berjuang menghadapi krisis jati diri. Apa pasal? Rasa-rasanya negeri kita baik-baik saja, tidak ada wabah amnesia massal yang lantas membuat masyarakat lupa apa pula itu Indonesia. Benar, tapi bukan itu masalahnya. Penduduk negeri ini sedang terjangkit virus ikut-ikutan, biar keren, biar gaul, biar nggak kamseupay. Aduh.....
Dan diantara sekian banyak virus ikut-ikutan tersebut, yang saat ini cukup mengkhawatirkan adalah kebiasaan generasi muda (maupun yang merasa muda) untuk ‘membeo’ istilah-istilah gaul yang muasalnya entah dari galaksi mana.
“terus kenapa? Masalah buat loe?”. Kira-kira seperti itulah yang akan dilontarkan oleh mereka yang merasa baik-baik saja. Namun sejatinya, ini bukan hanya masalah buat saya, melainkan kita semua. Setidaknya bagi orang-orang yang peduli dengan adagium ‘bahasa menunjukkan bangsa’.
Dewasa ini, semakin marak saja penggunaan istilah-istilah aneh yang tak jelas akarnya dari bahasa apa, dan artinya apa. Dan tentu saja tak bisa dikonfirmasi kebenarannya di kamus besar Bahasa Indonesia, karna bahkan tak seorangpun tahu siapa yang pertama kali mencetuskan istilah-istilah ini, mereka muncul begitu saja dan mendadak jadi trending topic. lantas kepada siapa kita harus ‘berterima kasih’? tentu saja kepada sinetron-sinetron, acara televisi dan jejaring sosial yang telah ‘berjasa’ mempopulerkan istilah rusak ini. Bahkan keponakan saya yang masih 5 tahun sudah fasih sekali melafalkannya.
Pernah sekali waktu saya menyisihkan 5 menit di akhirjam pelajaran untuk bertanya kepada murid-murid saya di kelas 5 (SD) tentang arti kata: patriot, nasionalisme, ibarat, disadur, dan sebagainya. Namun tidak ada yang mampu menjelaskan artinya secara tepat dan rapih. Lain halnya ketika saya bertanya apa itu: kepo, unyu, ucul, cukstaw, kamseupay, lebbeh, fudul, rempong dan sejenisnya. Semangat sekali mereka menjawab dan tepat pula.
Itu baru dari segi istilah. Lain lagi ceritanya dengan gaya penulisan (yang dianggap) gaul oleh sebagian remaja masa kini. Bukan sekali-dua kali saya mendapat sms semacam ini: “Li1iIzZhH....... QuWhm4wW cVrH4tTz!! cOzzZ,, qOh g Mo iDoP dLAM kmNfqAn.......”. nah, apa pula maksudnya itu? Bagaimana mungkin bahasa ibu kandung saya bisa lebih rumit ketimbang Bahasa Russia? Ini jelas-jelas melanggar EYD yang telah disepakati, dan agaknya esok atau lusa kita akan butuh penerjemah khusus untuk tulisan-tulisan seperti ini. Belum lagi jika kita masuk ke jejaring sosial semacam facebook dan twitter, maka jangan kan istilah aneh dan postingan dengan tulisan tanpa kaidah seperti tadi, bahkan nama pun di tulis panjang-lebar dan tak karuan. Jika 20-30 tahun mendatang ada orang tua yang mau menuliskan ‘vienna cuantiqxmuannizz chayankdyclalluu’ di akta kelahiran anaknya, maka mungkin akan saya pertimbangkan lagi untuk menghormati nama-nama semacam itu.
Apakah masalah terhenti sampai di situ? Nyatanya tidak. Urusan ikut-ikutan ini bersumber dari terkikisnya kecintaan dan rasa memiliki akan Bahasa Indonesia. Kita mulai tidak bangga dengan bahasa sendiri, merasa tidak keren kalau tidak bisa Bahasa Inggris, dan merasa baik-baik saja ketika tidak paham apa itu majas, imbuhan, dan sebagainya. Benarkah demikian?
Tentu saja. kemunduran ini bukannya tanpa bukti. Dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) gelombang pertama, terlihat jika nilai rata-rata nasional guru yang mengikuti UKG masih di bawah standar, yakni 44,55. Bahkan di beberapa daerah, nilai terendah justru berada pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Lalu bagaimana dengan para murid? Jangan tanya, karna menurut Juru Bicara Kementrian Pendidikan Indonesia Ibnu Hamad, berdasarkan evaluasi badan penelitian dan pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional, bahasa Indonesia menjadi penyebab utama ketidaklulusan UN SMP/MTs/SMPT dan SMA/SMU. Nilai UN rata-rata bahasa Indonesia lebih rendah jika dibandingkan mata pelajaran matematika, bahasa Inggris, dan IPA. Bahkan jika kita cermati, penyebab utama gagalnya siswa SLTA dalam UN adalah pelajaran bahasa Indonesia.
Mengapa demikian? Apakah pelajaran bahasa Indonesia begitu sulit? sepertinya tidak, karena bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang (seharusnya) kita gunakan dalam keseharian. Namun faktanya, anggapan itulah yang membuat kita meremehkan bahasa Indonesia, menomorduakannya, dan meletakkan kepentingannya di bawah mata pelajaran lain seperti matematika, IPA, dan bahasa Inggris. Maka jangan kaget ketika banyak calon sarjana kesulitan menulis paper, skripsi, tesis maupun disertasi.
Kalau sudah begini, siapa yang mesti disalahkan? Tidak ada. Bukan salah siapa-siapa, karna sejatinya bahasa merupakan tanggung jawab kita bersama. Yang harus kita lakukan adalah mulai peduli dan kembali memupuk rasa cinta terhadap bahasa persatuan kita, untuk kemudian menularkannya kepada sekitar. Yakinlah selalu, bahwa bahasa bukan sekedar alat komunikasi semata. Bahasa adalah identitas yang mencerminkan bangsa kita.
Dengan begitu, kita akan bersama-sama mengakhiri masa duka cita atas terpuruknya bahasa kita. Karna negri ini telah menemukan kembali jati diri-nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H