Salah satu tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) adalah mengurangi kesenjangan baik di dalam maupun antar negara (Bappenas, 2024). Untuk mencapai pemerataan tersebut, salah satu target yang ditetapkan pada periode 2018--2022 adalah penurunan nilai koefisien gini (SDGs Center Universitas Brawijaya, 2024). Koefisien gini sendiri merupakan indikator yang digunakan untuk menilai tingkat ketimpangan atau distribusi pendapatan di suatu wilayah (Sjafrizal, 2012). Semakin kecil nilai koefisien gini, mendekati nol, semakin merata distribusi pendapatan di wilayah tersebut (Yusuf, 2014).
Ketimpangan pendapatan merujuk pada perbedaan signifikan dalam penghasilan yang diterima oleh anggota masyarakat, yang menyebabkan adanya jurang pendapatan yang mencolok antar kelompok (Todaro, 2003). Kondisi ini berdampak pada semakin meningkatnya kekayaan bagi yang kaya, sementara yang miskin semakin terpuruk. Pola distribusi pendapatan mencerminkan sejauh mana hasil pembangunan suatu negara dibagi secara merata atau tidak di antara penduduknya.
Ketimpangan pendapatan menjadi masalah serius di Indonesia, di mana kelompok 10% penduduk terkaya memiliki pendapatan 29 kali lipat lebih besar dibandingkan kelompok 10% penduduk termiskin. Kesenjangan ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti distribusi sumber daya yang tidak seimbang, akses terbatas terhadap pendidikan dan layanan kesehatan berkualitas, serta minimnya kebijakan perlindungan sosial yang menyeluruh. Ketimpangan ini memberikan dampak besar bagi masyarakat pedesaan dan kelompok marginal, sehingga memperburuk angka kemiskinan di Indonesia secara keseluruhan (Eko et al., 2017).
Strategi Menangani Ketimpangan Pendapatan
Untuk menghadapi tantangan ketimpangan pendapatan, berbagai strategi telah dirancang dan diimplementasikan. Salah satu pendekatan utama yang sering digunakan adalah kebijakan redistribusi pendapatan. Melalui penerapan sistem pajak progresif dan program transfer sosial yang terarah, pemerintah berupaya mengurangi kesenjangan dengan mengalihkan sebagian kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok yang membutuhkan. Selain itu, langkah-langkah lain dilakukan untuk meningkatkan akses dan peluang ekonomi bagi kelompok rentan, seperti melalui program pendidikan, pelatihan kerja, dan inisiatif pemberdayaan ekonomi.
Pendidikan yang terjangkau dan berkualitas dipandang sebagai kunci utama dalam mengurangi ketimpangan pendapatan dalam jangka panjang. Dengan membekali individu keterampilan yang relevan untuk memasuki pasar kerja, pendidikan membantu meningkatkan mobilitas sosial. Di sisi lain, pengembangan ekonomi lokal juga memainkan peran penting dalam mengatasi ketimpangan. Investasi pada infrastruktur dasar, akses ke modal, dan dukungan untuk usaha kecil dan menengah (UKM) dapat memberdayakan masyarakat untuk menciptakan lapangan kerja baru, sekaligus mengurangi ketergantungan pada sektor ekonomi yang memiliki distribusi kekayaan tidak merata.
Langkah yang dilakukan untuk mengurangi ketimpanan pendapatan adalah melalui penerapan kebijakan fiskal yang sehat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kebijakan APBN mencakup pengelolaan penerimaan negara, seperti pajak, dan pengeluarannya untuk memengaruhi tingkat pendapatan nasional, peluang kerja, investasi, serta distribusi pendapatan secara lebih merata (Nasution, 2020).
Kesimpulan
Memberikan akses ke pendidikan berkualitas dan pelatihan kejuruan memungkinkan individu untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan lebih tinggi, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Selain itu, kebijakan perpajakan progresif berperan penting dalam redistribusi kekayaan, membantu mengurangi kesenjangan pendapatan, dan memastikan bahwa kelompok masyarakat paling rentan tidak menanggung beban kemiskinan secara tidak seimbang. Dengan mengutamakan langkah-langkah tersebut, Indonesia memiliki peluang untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan makmur bagi semua warganya.
REFERENSI