Mohon tunggu...
Miayazlin
Miayazlin Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penikmat kopi senja, film, buku, lagu, komedi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Guru-Guru Di Sekitar Kita

21 September 2024   16:56 Diperbarui: 22 September 2024   21:33 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam hidup yang penuh dengan variabel, seringkali keadaan tidak berjalan sesuai keinginan kita, termasuk orang-orang yang kita temui. Ada kalanya kita bertemu dengan orang-orang yang membuat kita merasa tidak nyaman, misalnya mereka yang senang mengatur dan menggurui, meskipun tidak memiliki otoritas untuk melakukannya. Mungkin tidak ada yang salah jika pihak yang diatur dan digurui tidak keberatan, karena ada individu tertentu yang memang menyukai perilaku tersebut. Namun yang kerap terjadi adalah ketidakterimaan. 

Contohnya, seperti yang saya alami di sebuah kelas yoga. Saat itu saya kebingungan tentang cara melakukan suatu pose dengan benar, sehingga saya pun bertanya kepada guru yoga yang bersangkutan. Belum sempat si guru menjawab, ada murid lain yang mendahului menjawab. Ketika saya belum puas dengan jawaban itu dan bertanya lebih lanjut, lagi-lagi murid tersebut mencoba menerangkan, meskipun penjelasannya malah membuat saya semakin bingung. Si guru yoga cuma senyum-senyum saja, dan akhirnya berusaha mengambil kembali kendali kelas. Setelah itu  kejadian tersebut kembali  berulang  beberapa kali kepada murid yang lain. Akibatnya suasana kelas menjadi sedikit tegang. Alih-alih mendapatkan suasana hati yang damai setelah ikut yoga, yang terjadi malah sebaliknya.

Pada kesempatan lain, saya mengikuti sebuah acara fotografi, yaitu hunting foto bareng yang diselenggarakan sebuah komunitas. Sebagian dari kami baru saling mengenal, terutama  saya yang belum mengenal siapa pun di situ. Sedang asyik-asyiknya membidikkan sebuah objek, tiba-tiba ada mendekati saya dan berkata, "Ambilnya jangan pakai angle yang kayak gitu, kurang bagus." Saya hanya berlalu tanpa menggubris. Lalu ketika saya hendak memotret objek yang lain, orang yang sama ini tahu-tahu muncul dan berkomentar,  "Kalau mau motret kayak gitu harus ganti lensa." Dan seterusnya, dan seterusnya. Saya sampai lupa berhitung berapa jumlah saran yang dia berikan tanpa diminta. Mungkin maksudnya baik, berbagi kiat-kiat fotografi, tapi akhirnya jadi lebih terkesan 'pamer' ilmu. Lalu, saya perhatikan, dia memang gemar melakukan hal yang sama kepada setiap peserta yang  kebetulan berada di dekatnya.

Memang kehadiran orang-orang seperti contoh di atas selalu saja ada. Mungkin sekarang orang-orang seperti mereka sering dilabeli dengan kata toxic. Di mana ada mereka, situasi pasti jadi tidak asyik. Terlebih lagi, mereka tampaknya tidak kalau bahwa yang mereka lakukan itu menyebalkan. Atau, bisa jadi mereka tahu tapi bersikap masa bodoh. Padahal energi negatif yang mereka bawa akan mempengaruhi orang-orang di sekeliling mereka. Maka, demi mempertahankan kesehatan mental, para pembawa energi negatif ini pun dihindari. 

Namun, seiring waktu, saya bertanya-tanya apakah mereka memang pantas dicap toxic? Toh, mereka tidak menggelayuti hidup saya. Ibarat sedang berjalan di jalanan beraspal yang mulus, tiba-tiba ada sebuah batu menggelinding. Jika tidak berhati-hati kita bisa tergelincir. Kita punya pilihan tindakan terhadap batu yang menggelinding tersebut, membiarkan lewat begitu, atau menyepaknya dari jalanan. Batu itu tidak mungkin membuat kita tergelincir selama kita berhati-hati dalam melangkah. Lalu kenapa bisa ada batu? Penyebabnya tentu saja bermacam-macam. Yang pasti, dengan adanya batu itu kita menjadi lebih waspada dalam melangkah.

Maka saya pun berpikir demikian. Saya menduga keberadaan mereka adalah cara semesta untuk menyadarkan saya. Lalu saya teringat dengan law of attraction, bahwa segala hal yang serupa akan saling tarik-menarik. Konon, setiap orang yang kita jumpai di dunia ini memiliki secuil kepribadian yang sama dengan kita, baik maupun buruk. Hal ini menjelaskan kenapa kita bisa memiliki lingkaran pertemanan yang asyik, karena masing-masing dari kite memiliki secuil kepribadian yang mengasyikkan. Namun, kita sering lupa, bahwa seperti dua sisi mata uang, kepribadian kita juga memiliki 2 sisi, yang baik dan yang buruk. Kita sering mengesampingkan sisi buruk kita yang menyebalkan dan menjengkelkan, sehingga seringkali kita pendam dalam-dalam sampai kita sendiri lupa bahwa karakter-karakter buruk itu ada. Maka kemudian, semesta mengutus orang-orang tertentu untuk mengingatkan kita akan hal tersebut. Di sinilah peran orang-orang yang membuat kita mendongkol tadi.

Apakah persoalan telah selesai? Tentu tidak. Bahkan setelah saya mendapatkan pencerahan tentang kehadiran orang-orang itu, saya tetap menyangkal bahwa saya, sedikit banyak, memiliki karakter buruk yang mereka tunjukkan. Masa, sih, saya seburuk itu?! Tidak mungkin! Saya seharusnya lebih baik dari mereka. Begitulah isi suara hati saya, yang penuh dengan penyangkalan. Mungkin di sinilah saatnya saya mulai menerima siapa saya yang sebenarnya. Akhirnya saya mengakui bahwa ada kalanya saya pun bersikap suka menggurui kepada orang-orang di sekitar saya. Bahkan kadang-kadang memberi nasihat-nasihat tanpa diminta, yang bisa saja semua nasihat itu akhirnya mubazir. Dengan berat hati saya pun mengakui kelemahan saya itu, dan itu perlu proses yang tidak sebentar. 

Hal ini mengubah cara pandang saya terhadap orang-orang yang membuat saya marah di masa lalu. Sebenarnya mereka adalah guru-guru saya, yang mengingatkan bahwa kehadiran mereka adalah cerminan dari sifat buruk saya sendiri. Jika ada yang mengumpamakan bahwa kepribadian manusia sama dengan kulit bawang yang berlapis-lapis, mungkin benar. Jika belum dibuka, maka kita belum bisa melihatnya. Hal yang sama dengan sifat buruk. Kita pasti langsung menyangkal jika ada yang memberitahu bahwa kita memiliki sebuah sifat buruk. Dengan adanya 'guru' yang datang langsung menunjukkan sifat tersebut, kita baru percaya. 

Lalu, apakah pertemuan kita dengan orang-orang itu bisa berhenti jika kita terus memperbaiki diri? Tentu tidak. Pertemuan akan terus terjadi selama kita masih hidup, hanya saja kita sudah tidak terganggu oleh sikap buruk mereka. Dari sekian banyak pertemuan saya dengan insan-insan yang menguji kualitas kesabaran, ternyata ada juga beberapa yang sikap buruknya sudah tidak mengganggu saya. Saya berharap Itu tanda bahwa saya cukup bertumbuh. Tinggal bagaimana menjaga kualitas diri agar tetap berada di jalan yang benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun