Mohon tunggu...
Liza Roza Lina
Liza Roza Lina Mohon Tunggu... -

tiada keberrhaslan tanpa kerja keras dan usaha

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Aku!

24 September 2012   00:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:50 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukan Aku!

Oleh: Liza Roza Lina

Aku tak habis pikir tentang mahkluk halus yang mereka ceritakan malam itu. Seolah aku seperti orang angkuh yang ingin diberikan kesaksian. “ Tak percaya itu hanya mitos saja” kataku. Namun sudut mata itu memberikan banyak makna pada ku. Apa yang mereka pikir tentang ku?

Disebuah teras kecil, aku duduk sambil memandang ke arah gunung. Ku pegang sebuah handphone, yang biasa ku gunakan untuk menghubungi ayah dan ibu ku di kampung. Jika ini seorang perantau baru, perjalanan ini akan terasa jauh yaitu tujuh jam perjalanan. Hanya dengan handphone tanpa kamera inilah aku bisa mendengar suara ayah dan ibu. Sebagai mahasiswa baru, banyak sekali yang ingin di ceritakan kepada ibu. Cerita tentang awal memasuki perkuliahan.

Tapi kali ini tak seperti biasanya, handphone itu hanya ku ku timang-timang aku, tak mampu memberi berita buruk yang menimpa ku. Aku takut. Sebelum ku pencet tombol hijau, air mata ku berlinang. Akhirnya niat ku terkabul juga. Aku menelpon ibu. “Ibu”? Kata ku lirih. “Ya, Kamu kenapa nak? Kamu lagi sedih atau ada masalah?” tanya ibu. Mungkin ibu mengira ini masalah perkuliahan. Biasa, mahasiswa baru. Aku tambah sedih, air mataku mengalir deras dan mulai tersedu-sedu. Tak mampu ku gambarkan kesedihan ini. akhirnya  aku mengrungkan niatku utnuk memberitahukan ibu.

Seharusnya  tak  ku kabarkan masalah ini pada ibu. Aku mendapatkan masalah yang membuat ku terpuruk di gedung mewah ini. Tidak beberapa bulan menjalani perkuliahan aku diberikan cobaan. Semakin dekat ku dengan-Mu, semakin kuat godaannya. Aku mulai putus asa mengahadapi semua ini. Ingin ku akhiri perkuliahan ini. namun pesan ibu tak pernah kulupakan, ibu selalu mengingatku, jangan takut masalah yang menghadangmu, karena itulah yang akan mendewasakanmu. Jangan pernah putus asa dengan hal-hal kecil yang akan menjatuhkanmu. Itulah kata-kata yang paling sederhana yang diucapkan ibu.

Seiring berjalannya waktu, aku merasa semakin dikucilkan. Aku tak punya tempat untuk mengadu, aku hidup di kota ini hanya sebatang kara. Tetapi disini aku masih punya seorang sahabat, yang selalu berbagi dalam suka dan duka. Ia teman sewaktu SMA. Ia tahu semua derita dan bahagia ku. Terutama masalah yang menimpaku ini. Namun, kami tidak satu kamar, kata orang sahabat tak boleh satu kamar, bisa-bisa bertengkar. Jadi kami memilih beda kamar. Jumlah kami se-kos cukup banyak, sekitar lima belas orang. Aku mendapatkan tiga orang sekamar. Disini aku anak baru, yang penuh dengan keluguan. Dengan kepolosan dan keluguan ini aku mendapatkan masalah.

Berawal dari sebuah kehilangan uang. Hampir  setiap minggu  uang kakak sekamar ku hilang. keributan dan kecurigaan pun mulai terjalin, seolah mata itu tertuju padaku. Aku seperti orang bodoh, yang tak mampu membela diri. Hal yang paling aneh yang belum pernah aku dengar yaitu adanya mahkluk dan adanya bau bunga melati disekitar kos . Selain itu bunga melati pernah ditemukan dipintu kamar kos. Sindiran-sindiran dari berbagai sudut kamar sudah mulai terdengar. Nada-nada suara yang tak enak didengar sudah mulai memanaskan suasana hati. Namun aku berusaha untuk menutupi telinga dari kata-kata yang tak sedap itu.

Dalam suasana seperti ini, aku masih fokus untuk kuliah. Aku tak pernah membawakan masalah ini ke kampus. Namun ketika aku hendak menuju kampus, aku tidak sengaja mendengar suara bisikan, terdengar suara yang pelan dan samar. Mereka berkumpul,  salah satu kata yang dapat meneteskan air mataku yaitu mereka menjauhi ku, dan aku dianggap sebagi pelaku dari semua itu. Hina sekali diriku. Namun aku terus melanjutkan perjalanan menuju kampus.

Tekanan sudah mulai aku rasakan, semua orang menjauhiku, aku seolah seorang hantu yang berwujud manusia. Sungguh luar biasa. Kesedihan semakin menumpuk, rasanya sudah sesak dada ku. Masalah ini tak sebatas sampai disini. Masalah ini terus menuju tingkat lanjut, aku dilaporkan kepada ibu kos. Entah apa yang mereka ceritakan, aku tak tahu. Hingga aku dipanggil dan disuruh menemui ibuk kos. Buk mina namanya.  Bukan saja aku yang dipanggil, semua anak kos dipanggil untuk berkumpul. Sesuatu yang mengejutkan ku, aku langsung ditanyakan tentang mahkluk halus. Aku dituduh membawa mahkluk halus, dan mahkluk itu yang telah mengambil uang kakak-kakak sekamarku. Lemah sekali diriku, aku bahkan menampakkan kelemahanku dengan meneteskan air mata.

Berbagai pertanyaan yang dilontarkan padaku. “Kamu harus jujur dan setidaknya kamu mengakui kesalahanmu” ujar buk Mina. “tidak buk, aku tak pernah, melakukan hal yang serenda itu, apalagi mempunyai mahkluk halus” jawab ku sambil meneteskan air mata. Namun kakak-kakak sekamar ku ikut serta menghujam ku. Masalah terebut belum terlihat ujungnya. Sepertinya aku sudah tak sanggup lagi untuk menyimpan masalah ini dari ibu dan ayah. Aku ingin pindah kos, namun itu menambah masalah bagiku, itu akan memperkuatkan tuduhan mereka terhadapku. Akhirna aku putuskan untuk pindah kamar yang berhadapan dengan kamar sahabatku. Disini aku hanya sendiri dalam satu kamar. Aku sedikit lega, kesendirian mulai ku nikmati.

Seminggu setelah pindah kamar, aku dipanggil lagi oleh ibuk Mina. Tidak lain adalah untuk membahas masalah kehilangan dan mahkluk halus. Kali ini kami hanya berbicara berdua saja. Aku dan ibuk mina. Mungkin buk mina sudah mencari cara untuk menyuruh aku mengakui semuanya. Namun yang namanya tidak, tetap tidak. Bahkan ibu mina mengatakan bahwa kampung ku masyarakatnya masih mempercayai mahkluk halus. Entah dasar apa ibu mina mengatakan hal itu. Sepertinya ibu mina sudah mula percaya dan secara tidak langsung aku telah dituduh oleh ibu kos. Dalam suasana seperti ini aku tetap bertahan dengan segala macam tuduhan, penghinaan yang sangat besar ku rasakan.

. Di kamarku ada dua pintu, pintu yang satu menghadap kearah pegunungan yaitu balkon. Aku sering duduk di balkon tersebut, untuk menikmati panorama mentari pagi. Kali ini kesedihan ku semakin mendalam. Tak bisa lagi ku simpan tanpa memberitahu ibu. Aku mencari cara bagaimana mengawali cerita ku ini pada ibu. Namun dengan tidak rasa sabar lagi, aku menelpon ibu.

“Ibu, sepertinya aku sudah tidak tahan dengan tuduhan ini? Apa benar kita punya mahkluk halus?” tanya ku.

“Apa maksudmu nak, kenapa kau bisa bicara seperti itu?” ibu balik nanya.

“ ibu, aku tak ingin masalah ini semakin rumit, bahkan disini aku dikucilkan dari teman-temanku, aku tak punya siapa-siapa, tak ada yang berpihak pada ku, aku pencurikah ibu?” tanyaku.

“ tidak anakku, ibu tahu siapa kamu nak, biarkan Tuhan menghukum mereka, kita pasrahkan pada tuhan, karen tuhan itu tidak sia-sia, tuhan memberikan cobaan sebatas kemampuan manusia, jadi jangan ragukan itu” jelas ibu. Aku tahu, ibu sedang menahan tangisnya, itu terdengar dari perubahan suaranya.

Sesuai dengan perjanjian sebelumnya, malam jumat itu kami berkumpul. Jika tidak yang mau mengakui, maka setiap kami di wajibkan bersumpah dengan al’quran. Namun, ada seseorang yang tidak hadir. Ia adalah tamu kakak sebelah kamarku. Sebelumnya ia numpang nginap beberapa minggu. Acara bersumpah pun di mulai. Entah mitos aku juga tidak mengerti, katanya jika uang itu tidak dicuri, maka sumpah itu kembali kepada orang yang punya uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun