Di awal tahun 2022, dunia digemparkan oleh kabar invasi Rusia ke Ukraina yang dilancarkan Rusia pada Februari 2022. Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, hal tersebut menandai eskalasi besar yang terjadi pada Perang Rusia-Ukraina, yang dimulai pada 2014 setelah Revolution of Dignity Ukraina. Invasi tersebut telah memicu krisis pengungsi terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II .Â
Perang yang terjadi pada Rusia-Ukraina telah memicu gejolak di pasar keuangan, dan secara drastis meningkatkan ketidakpastian tentang pemulihan ekonomi global.
Disaat terjadinya invasi Rusia atas Ukraina, sanksi yang dijatuhkan terhadap Rusia mulai mendatangkan malapetaka pada perdagangan global, dengan konsekuensi yang berpotensi menghancurkan bagi importir energi dan biji-bijian sementara juga menghasilkan efek gelombang di seluruh dunia yang masih berjuang dengan gangguan rantai pasokan yang disebabkan oleh pandemi.Â
Salah satu sektor yang sangat terancam akan dampak dari perang Rusia dan Ukraina yakni sektor minyak dan gas.Â
Dunia mengkhawatirkan kenaikan harga komoditas energi dan dampaknya terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Hal ini tercermin dari munculnya perbedaan pandangan bahwa harga minyak bisa mencapai $125 atau bahkan $170 dalam beberapa bulan mendatang apabila konflik ini mengganggu pasokan produksi Rusia.Â
Hal tersebut membawa banyak kesulitan khususnya para pelaku usaha dimana memunculkan respon kekhawatiran para pelaku usaha akan terjadinya kelangkaan atau krisis minyak global.Â
Dalam sebuah pertemuan para eksekutif di bidang perusahaan minyak, dipaparkan hasil dari pertemuan tersebut yang menunjukkan respon para pelaku usaha di bidang minyak dan gas bahwasannya krisis energi mungkin terjadi karena sanksi dan embargo terhadap Rusia.
Walaupun tak ada negara Uni Eropa yang ikut dalam embargo minyak Rusia, Komisi Eropa mengumumkan pada hari yang sama bahwasannya ketergantungan kawasan pada gas dari Rusia menyumbang sekitar 40 persen dari total konsumsi bahan bakar fosil.Â
Terganggunya proses bisnis ekonomi khususnya pada sektor minyak dan gas, membawa persaingan antara para pebisnis di bidang tersebut. Hal tersebut membuat para perusahaan - perusahaan besar menyusun strateginya dalam menghadapi persaingan di tengah lonjakan harga minyak dunia.Â
Harga minyak yang tinggi akan menimbulkan peningkatan kegiatan merger dan akuisisi serta investasi khususnya pada perusahaan - perusahaan dengan basis bidang minyak dan gas.Â
Secara historis, harga minyak dan kegiatan merger dan akuisisi mempunyai korelasi positif yang signifikan. Menurut analisis IHS Markit, dunia saat ini kekurangan $525 miliar dalam investasi minyak dan gas untuk memulihkan keseimbangan pasar.Â
Kenaikan harga saat ini menunjukkan bahwa dunia masih membutuhkan minyak dan beberapa analis memperkirakan permintaan minyak akan terus meningkat di tahun - tahun mendatang meskipun terjadi transisi energi.
Selain pasar internasional, konflik yang terjadi pada Ukraina dan Rusia juga membawa pada dampak ekonomi khususnya sektor minyak dan gas di Indonesia. Salah satu efek yang sangat dirasakan akibat invasi Rusia ke Ukraina yakni kenaikan harga bahan bakar nonsubsidi. Â
Harga gas elpiji nonsubsidi naik dari Rp 13.500 per kilogram menjadi Rp 15.500 per kilogram sejak 27 Februari lalu. PT Pertamina Patra Niaga mengklaim kenaikan harga terjadi karena mengikuti perkembangan terkini di industri minyak dan gas.Â
Tak hanya itu, PT Pertamina (Persero) selaku perusahaan minyak dan gas terbesar di Indonesia juga telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi yakni Pertamax Turbo dan Dexlite per 3 Maret 2022 dengan kisaran kenaikan Rp500 - Rp1.100 per liter. Akan kenaikan dari harga minyak tersebut, menimbulkan kekhawatiran dapat memicu munculnya inflasi dikarenakan harga - harga pokok lainnya juga ikut serta naik 7 .
Melihat perkembangan situasi konflik antara Ukraina dan Rusia yang tidak menunjukkan ke arah yang positif, hal tersebut membuat Pemerintah Indonesia Khawatir akan semakin ber imbasnya perekonomian nasional akibat situasi kondisi global yang tidak menentu.Â
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia perlu untuk mencegah serta mengatasi dampak yang telah terjadi. Pemerintah Indonesia sebaiknya menambah dana kompensasi kepada Dua Perusahaan besar yakni Pertamina dan PLN (Perusahaan Listrik Negara) agar harga BBM (Bahan Bakar Minyak) dan tarif dasar listrik tidak naik hingga akhir tahun.Â
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga dapat meningkatkan subsidi energi pada penggunaan LPG (Gas Minyak Cair) dan BBM (Bahan Bakar Minyak), yang mana subsidi tersebut diperkiraan saat ini mencapai Rp. 134 triliun.Â
Subsidi tersebut juga dapat bertambah seiring berjalannya waktu. Tak hanya itu, pemerintah juga seharusnya tidak terlalu buru-buru untuk memberikan bantuan subsidi upah kepada masyarakat dalam menekan anggaran subsidi.
Dan yang terakhir, dengan situasi pendapatan masyarakat yang belum pulih sepenuhnya, hal tersebut dapat menekan daya beli konsumen. Oleh karena itu, untuk memajukan dan memulihkan perekonomian, Pemerintah sebaiknya lebih terfokus lagi  pada hasil Alam (SDA) di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H