Mungkin hal yang kulakukan sekarang akan dianggap bodoh olehnya. Tapi siapa peduli sekarang? Toh aku sudah berjanji untuk melupakannya. Begitupun dengan lelaki itu, tanpa berjanji pun aku tahu ia dengan cepat akan melupakanku. Melupakan semua kenangan manis yang aku yakin hambar baginya. Menikah muda, yah, tentu tidak ada salahnya bagi sebagian orang. Namun akan menjadi kesalahan apabila mantan kekasih tiba-tiba memberikan undangan pernikahan, dan terlihat namanya bersanding dengan nama sahabatku. Aku tidak perlu tahu alasan apa yang akan mereka katakan, tiba-tiba pikiranku sudah pergi entah kemana.
Kuta, disinilah aku sekarang. Duduk di atas pasir putih pantai sambil memandangi matahari yang tenggelam. Tentu akan terdengar romantis jika hal tersebut kulakukan dengan pasangan. Memikirkannya saja hatiku sudah sakit lagi. Kubiarkan rambutku tergerai ditiup angin sore, berharap perasaan benciku juga ikut tertiup. Namun ternyata yang timbul adalah kenangan satu tahun lalu. Rey, nama lelaki itu, ia mengajakku ke Bali hanya untuk memperlihatkan indahnya sunset. Saat itu tidak ada hal yang lebih romantis selain yang ia lakukan terhadapku, sampai belakangan aku tahu ia juga melakukan hal yang sama pada sahabatku.
Matahari telah tenggelam dengan sempurna. Para pasangan yang daritadi ikut melihat sunset juga telah bergegas untuk kembali pulang entah kemana. Mau tidak mau aku juga turut bergegas mengemasi barang-barang yang kubawa. Aku tidak mau kedinginan di pantai saat malam hanya dengan mengenakan bikini dan kain tipis seperti ini. Lagipula, manatahu ada lelaki yang tertarik padaku untuk kenalan. Hei, bukankah itu hal bagus?
“Sudah mau pulang?”
Benar saja. Dengan pakaian seperti ini di malam hari, setidaknya pasti ada yang akan menyapaku. Aku menoleh ke arah datangnya suara bass itu.
“Roni?”
Lelaki itu mengembangkan senyum. Ternyata selama ini ia mulai membiarkan kumisnya tumbuh. Saat ia tersenyum tadi, entahlah, terasa tulus dan membuatku menyukai senyumannya yang seperti itu.
“Kamu kesini juga?” tanyaku yang baru sadar bahwa ia sedang menduduki tikar yang disewakan oleh penjual di sekitar pantai. Tandanya ia sudah cukup lama duduk disitu, dengan jarak hanya sekitar dua meter dari tempatku.
“Sejak tiga jam yang lalu.” Jawabnya sambil memandangiku.
Dipandangi seperti itu aku jadi tidak enak. Well, aku memang sengaja memakai bikini untuk berjemur hari ini. Tapi setahuku, Roni bukan tipe cowok mesum yang baru melihat cewek memakai bikini bisa memandang takjub seperti yang ia lakukan sekarang. Walau sebenarnya aku tidak tahu jelas sifat Roni seperti apa.
“Is there anything wrong?” tanyaku.
Ia segera menggeleng dan mengalihkan pandangan ke arah lain. “No. Aku cuma heran kamu bisa melamun selama tiga jam sampai akhirnya sadar.”
Aku terkekeh ringan. Ternyata itu yang ia pikirkan. “Aku juga heran selama tiga jam kamu tidak menegurku duluan. Padahal aku yakin kamu sudah tahu aku duduk dua meter di sebelahmu sejak tadi,”
“Aku tidak mau menganggu ketenanganmu,” jawabnya sambil menoleh ke arahku. Lalu ia seolah menekankan suaranya, “Selain itu kamu juga tidak pernah sadar akan kehadiranku di dekatmu.”
Lalu ia berpaling lagi sambil menatap kosong laut di depan kami. Entah apa yang terjadi, namun perkataan terakhirnya terdengar aneh di telingaku. Sekitar 5 detik kami terdiam dan hanya memandangi laut. Aku bahkan tidak tahu mau berkata apa.
“Coffee?” tawarnya memecah keheningan lima detik yang terjadi.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Ia segera menggulung tikar dan berdiri di sebelahku. “Mungkin ini akan membuatmu lebih nyaman.” Roni tiba-tiba memakaikan jaket ke tubuhku.
“Oh, thanks,”
Kami menyusuri jalanan pasir pantai malam itu. Para pedagang mulai ramai menjajakan jajanan khas serta para turis yang ikut meramaikan malam di Kuta. Dengan segala rasa penasaranku terhadap lelaki ini, sambil memeluk jaket yang ia pinjamkan, aku berharap malam ini dapat berjalan lebih lama dari biasanya.
*
Jam digitalku menunjukkan pukul dua belas malam. Aku masih terjaga di atas tempat tidur hotel sambil berselimutkan selimut tebal. Memandangi layar televisi yang masih terus menyala. Padahal pikiranku jelas sekali bukan tertuju pada gambar bergerak disana. Hari ini, mantan kekasih dan mantan sahabatku melangsungkan akad nikah. Walau tidak mengambil undangannya, aku sempat melihat tanggal pernikahan mereka. Mulai dari hari ini, mereka sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Entah apakah aku masih sanggup untuk melihat wajah keduanya di kampus nanti. Atau bahkan apakah aku masih sanggup untuk meneruskan kuliahku di kampus yang sama dengan mereka?
Aku menelungkupkan wajah menggunakan selimut. Sudah cukup aku menangis. Aku tahu hari ini akan datang. Itulah alasan mengapa aku berada disini, jauh dari mereka, jauh dari rasa sakit yang akan aku rasakan. Berkali-kali aku meyakinkan hati bahwa aku harus bertahan. Hidup masih panjang. Itu sih kata orang bijak. Sayangnya aku tidak cukup bijak untuk bisa yakin bahwa hidupku masih panjang atau tidak.
Handphoneku bergetar. Tertera nama Roni di layar, ia mengirim sebuah pesan.
Kalau kamu belum tidur, coba buka cartoon network. Ada film favoritmu sejak SMA.
Aku segera mengambil remote TV dan mengganti channel yang dimaksud. Benar saja, aku langsung tersenyum senang begitu melihat kartun favoritku sedang diputar. Entah sejak kapan aku sudah tidak menonton kartun ini lagi. Dan aku merasa benar-benar butuh untuk menonton hiburan semacam ini sekarang. Aku membalas pesan Roni.
Bagaimana kamu tahu? Hahaha aku senang sekali kartun ini!
Sejak minum kopi bersama dua hari yang lalu, sesekali Roni mengajakku ke café untuk sekedar mengobrol sambil makan malam. Aku baru menyadari bahwa Roni telah banyak berubah sejak masuk universitas. Namun yang kuketahui hanya dari segi fisik. Karena sejak SMA, aku hanya mengenal Roni sebagai teman bertegur sapa, bukan teman akrab yang bisa mengobrol lama. Tubuhnya sekarang lebih berisi dan berotot, mungkin ia mulai ikut ngegym seperti yang dilakukan oleh kebanyakan lelaki lainnya. Dan harus kuakui ia tampan. Aku baru sadar mengapa cewek-cewek dari SMA hingga di kampus saling membicarakan Roni. Anehnya, mengapa aku baru sadar sekarang?
Aku dan Roni masuk di unit kegiatan mahasiswa yang sama. Saat SMA juga kami tergabung dalam anggota OSIS. Tapi seperti yang kukatakan tadi, kami jarang sekali mengobrol. Jika ada bahan yang kami obrolkan, itu tidak jauh dari masalah tugas atau kegiatan-kegiatan lainnya. Setelah beberapa hari mengenalnya lebih dalam, aku merasa heran kenapa dari dulu aku tidak bisa akrab dengannya. Padahal ia pribadi yang asik dan nyambung kalau diajak cerita.
Kamu selalu menonton itu kalau sedang di ruang OSIS
Aku terkekeh membaca pesan balasan dari Roni. Ternyata ia memperhatikanku. Aku tidak yakin bahwa mantan kekasihku tahu bahwa aku senang dengan kartun ini. Ah, aku tidak mau membahasnya lagi.
Jadi kamu diam-diam memperhatikanku? Apalagi yang kamu tahu tentangku?
Menit-menit berikutnya diisi dengan pesan-pesan yang selalu membuatku bisa tersenyum. Aku juga merasa excited sekali dengan Roni dan segala hal baru yang aku ketahui darinya. Harus kuakui, dua tahun berpacaran dengan Rey membuatku susah untuk dekat dengan teman lelaki yang lain. But now I am free! Aku bisa dekat dengan siapa saja.
Jam lima pagi ini kita ke pantai. Aku akan jawab segala yang aku tahu tentangmu. PS : Disarankan untuk nggak pakai bikini dan kain yang tipis. Udara pagi disini dingin sekali loh.
Aku tersenyum dan segera menjawab. Okay, see you there.
*
Ternyata alasan Roni mengajakku ke pantai jam lima pagi adalah untuk jogging di sekitar pantai. Entah ini adalah hobi barunya atau apa, tapi ia memaksaku untuk mengikutinya. Setelah lima belas menit berlari mengitari pantai, akhirnya ia mengajakku duduk di salah satu bangku pantai. Udara pagi yang cukup mulai terasa hangat karena keringat yang muncul oleh lari lari kecil barusan.
“Jadi ini alasanmu mengajakku untuk ke pantai subuh begini?” tanyaku heran.
“Not really. Seebentar lagi kamu bakal tahu” jawabnya penuh rahasia.
Aku mengangkat bahu. “Well, jadi apa aja yang kamu ketahui tentangku?”
“Kamu mau membahas itu sekarang?” tanyanya sambil menatapku serius. Aku mengangguk kecil. Sebenarnya aku kurang yakin, namun rasa penasaranku tentang lelaki ini sudah cukup banyak.
Ia memulai ceritanya dengan menghela nafas panjang. “Aku sudah tahu kamu sejak awal masuk SMA. Sejak itu aku ingin kenalan secara langsung, tapi entah kenapa waktunya selalu tidak tepat. Dan perlu diketahui bahwa aku sudah mulai suka denganmu saat itu juga.”
Aku melongo spontan. “Bagaimana bisa—“
“Jangan dipotong dulu,” pinta Roni sambil menutup bibirku dengan telunjuknya. Aku terdiam. “Aku suka kamu dan segala keunikan yang kamu perbuat. Saat aku tahu kalau kita sama-sama masuk anggota osis, aku senang bukan main. Aku berharap bisa lebih dekat denganmu melalui kegiatan itu. Namun ternyata Kak Nico, ketua osis kita dulu, nembak kamu dan kalian jadian. Alhasil aku hanya bisa mengagumimu dari kejauhan. Aku sering memperhatikanmu sedang menonton film kartun di ruang osis dan tertawa senang saat itu.”
Aku tersenyum kecil. Tidak pernah kusangka ada lelaki yang memperhatikanku selama itu. Lalu Roni meneruskan ceritanya. “Saat kita akan masuk kuliah, awalnya aku menyangka kita tidak akan berada dalam satu kampus. Aku sudah berkeinginan untuk melupakanmu jika memang kita tidak dalam kampus yang sama. Ternyata kita bertemu di satu unit kegiatan mahasiswa. Sejak saat itu aku bertekad untuk bisa mengenalmu lebih jauh. Namun, lagi-lagi, aku selalu terlambat. Kamu jadian dengan Rey dan benar-benar jatuh cinta kepadanya.”
“Aku….aku sudah selesai dengannya.” Potongku begitu mendengar nama itu disebut.
“Aku tahu hal itu. Karena itulah aku kesini. Aku sudah memperhatikanmu sejak lama. Mendekatimu sejak lama. Namun kamu sendiri tidak pernah sadar akan kehadiranku. Jika diibaratkan dengan pintu, kamu berusaha untuk membuka pintu yang terkunci. Sedangkan kamu tidak pernah sadar bahwa ada pintu yang terbuka di dekatmu.”
Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Siapa yang menyangka hari seperti ini akan terjadi? Namun apa yang dikatakan oleh Roni benar. Aku selalu berusaha untuk membuat Rey jatuh cinta padaku, namun kenyataannya itu tidak akan pernah terjadi. Pintunya terkunci. Dan sekarang aku baru menyadari ada pintu yang selalu terbuka.
“Maaf…. Aku, aku tidak pernah sadar bahwa kamu mendekatiku. Aku terlalu berfokus pada laki-laki lain..” ujarku pelan.
Roni menggeleng. “Sudalah tidak apa-apa itu sudah berlalu. Hei, ini dia yang mau aku tunjukkan padamu” ujarnya sambil menunjuk ke arah lautan. Aku menyipitkan mata karena sinar matahari yang mulai mengenai daratan pantai. “Sunrise tidak kalah indah dibandingkan sunset” Roni tersenyum kepadaku.
Aku memandangi sunrise yang ada di depanku sambil bertanya-tanya apakah pintu yang dimaksud Roni masih terbuka? Atau juga sudah terkunci rapat? Akhirnya aku memberanikan diri bertanya. “Ron, apakah pintu yang terbuka di dekatku itu saat ini masih terbuka? Atau sudah terkunci rapat?”
Roni memandangku dengan seksama lalu mengembangkan senyuman khasnya. “Pintu itu selalu terbuka untukmu”
Kata-kata barusan membuatku tersenyum sumringah. Mungkin masih perlu waktu untuk membiasakan diri dengan pintu yang telah lama terbuka ini, namun tidak ada salahnya mencoba masuk ke pintu yang baru. Aku bersandar di bahu Roni sambil menikmati sunrise. Sekarang, aku berharap pagi akan berlangsung lebih lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H