Masa kini. Secangkir kopi hangat meredakan secara fisik, tetapi tidak secara psikis. Dari apartemen tempat tinggal, aku kembali memandangi kota Tokyo yang diselimuti langit malam. Gemerlap cahaya warna-warni, gedung-gedung tinggi, orang berlalu-lalang, membuat indah keadaan di bawah sana. Berbeda dengan keadaanku. Pikiranku hanya berisi tentang teman masa kecilku. Saat ini, sedang kupandang sebuah foto dari kamera lamaku.
Aku tahu, kemustahilan jika dipaksa akan menyakitkan. Jauh di dalam lubuk hati, masih ada perasaan ingin memeluk semua kenangan lama. Setiap goresan penaku, hanya tentang kamu. Air mataku mengalir deras setiap kali melihat fotomu dalam kamera lamaku.
****
Tahun 2007. Aku Mala. Seorang gadis berusia 13 tahun dengan rambut hitam sepundak. Saat ini, aku menduduki kelas 7 SMP. Bagiku, hal yang paling asik di sekolah adalah ekstrakulikuler fotografi. Saat pelajaran, istirahat, tanganku gatal ingin memegang kamera. Hobi ini sudah tertanam pada diriku sejak SD.
Suara bising menghujani pendengaranku. Siang ini, pelajaran keempat dibatalkan karena guru izin tidak hadir. Itulah kenapa teman-temanku di kelas berisik sekali.
Beberapa jam kemudian, kelas kembali tenang ketika salah seorang guru masuk untuk menggantikan guru yang sedang izin. Telingaku merekam percakapan teman-temanku. Banyak dari mereka yang bergumam kesal, membuatku tertawa kecil.
Hari-hari di sekolah berjalan biasa saja, sama seperti hari sebelumnya. Bagiku pelajaran atau berita viral yang terjadi di sekolah, sama sekali tidak menarik. Sesuatu yang menarik dan kutunggu hanya ekstra fotografi. Aku selalu melirik jam dinding di kelas karena tidak sabar ada ekstra. Bahkan terkadang aku tertidur di kelas sambil menunggu jam pulang.
Jarum jam bergerak begitu lambat, hingga akhirnya waktu itu tiba. Kakiku melesat cepat pergi ke ruangan ekstra fotografi. Sebenarnya sekolah sudah menyiapkan fasilitas kamera. Hanya saja, aku selalu memakai kamera pemberian ayah dalam rangka hadiah lulus SD. Itu hadiah yang tak pernah kulupakan. Aku sangat menyayangi kamera ini.
Hari ini, guru pembimbing ekstra meminta kami untuk mempotret kegiatan seseorang. Zaman sekarang istilahnya candit. Mendengar itu, aku tahu tempat yang cocok untuk dituju. Guru pembimbing tidak banyak bicara kali ini. Beliau hanya memberi kami tugas dan mengumpulkannya. Maka dari itu, hari ini ekstra cepat selesai dan aku bergegas ke tempat yang telah kutentukan. Yaitu pasar.
Aku sampai di pasar sekitar 30 menit setelah menaiki becak. Mataku melesat cepat menyelusuri sekitar pasar untuk mencari spot foto. Di sore hari, masih ada beberapa orang yang membeli sesuatu di pasar walaupun tidak se-ramai di pagi hari. Langkahku berhenti ketika melihat seorang anak laki-laki sepantaran denganku, sedang membantu ibunya berjualan. Aku mulai mengangkat kameraku dan..
CEKRIK
Dengan perasaan tidak sabar, aku segera melihat hasil foto. Hmm..kurang bagus. Sekali lagi, aku mengarahkan kameraku ke arah mereka. Dan..eh? Anak laki-laki itu menghilang dari frame kamera. Kemana perginya anak laki-laki itu? Bukankah tadi bersama ibunya?
“Kamu memfoto ku ya?” Suara tak dikenal berasal dari belakangku. Aku langsung menoleh ke sumber suara. Hey, dia anak laki-laki yang hendak kufoto! Agar tidak salah paham, aku pun menjelaskan alasan kenapa aku memfotonya. Lucunya, anak laki-laki itu langsung kembali pada ibu dan dagangannya, lalu berpura-pura melayani pelanggan. Setelah mengambil beberapa jepretan, aku berhasil mendapatkan foto yang bagus.
Ketika kakiku hendak melangkah keluar pasar, anak laki-laki itu menghampiriku. Dia mengulurkan tangannya. “Aku Renjana. Kalau boleh tahu namamu siapa?” Katanya sambil mengulurkan tangan. Melihat itu, aku juga mengulurkan tangan. “Aku Mala. Terima kasih sudah mau membantu tugas sekolahku.”
Keesokan harinya, ibu menyuruhku untuk membeli tempe di pasar setelah pulang sekolah. Hari ini tidak ada ekstra fotografi. Jadi setelah jam pulang, aku langsung naik becak menuju pasar. Hari ini cuaca begitu cerah, jadi tidak halangan selama perjalanan.
Sesampainya di pasar, aku berlari menuju penjual yang menjual tempe. Mataku dengan gesit mencari-cari dimana tempe itu dijual.
“Halo, Mala.” Seseorang memanggilku. Aku kenal suara ini. Dengan cepat, aku langsung menoleh. Orang itu Renjana. Dia memakai kaos putih dan celana selutut. Rambutnya berantakan dan kulitnya kusam. Aku yakin dia bersikeras membantu ibunya berjualan. “Halo, Renjana.” Kakiku melangkah menghampirinya. Renjana bertanya apa yang kucari, dan aku menjelaskan bahwa aku sedang mencari tempe. Dengan wajah senang, Renjana menarikku pergi ke tempat dagangannya. Di sana, ada ibunya yang sedang melayani pelanggan lain. “Di sini jualan tempe. Ayo dibeli, Mala!” Seru Renjana. Wajahnya yang bahagia membuatku berpikir bahwa dia matahariku. Dengan senang hati aku membeli tempe di tempat dagangan Renjana dan ibunya. Toh aku tidak perlu repot-repot mencari.
Semenjak saat itu, kami berteman. Bahkan setelah pulang sekolah aku selalu ke pasar untuk menemui Renjana. Renjana memiliki sepeda jadul, dan dia selalu memakainya untuk bepergian. Ketika pulang sekolah dan langsung menuju pasar, Renjana menawariku untuk dibonceng dan berkeliling menuju berbagai tempat. Dengan senang hati aku menerima tawaran itu. Tidak lupa, aku menyiapkan kamera pemberian ayah untuk memfoto tempat-tempat yang kami kunjungi.
Terkadang ketika pulang sekolah, Renjana menjemputku di depan gerbang dengan sepeda jadulnya. Renjana tahu sekolahku karena hasil kami berkeliling dari tempat ke tempat. Hari-hariku yang dulunya hanya menantikan ekstra fotografi, sekarang aku juga menantikan keberadaan Renjana. Jika kalian bertanya-tanya soal sekolah Renjana, Renjana tidak bisa sekolah. Ekonomi keluarga tidak memadai. Itulah sebabnya dia membantu ibunya berjualan.
Waktu itu, kami pernah pergi ke sebuah festival layang-layang. Keramaian menyelimuti area lapangan. Entah itu orang tua, remaja, ataupun anak-anak. Renjana memarkirkan sepeda jadulnya dan menarikku ke tempat pertandingan layang-layang berlangsung. “Mala, aku akan bertanding layang-layang dengan yang lain. Lihat aku!” Ucap Renjana bersemangat. Aku terkesima ketika melihat Renjana yang bermain layang-layang dengan begitu lincahnya. Dari kejauhan aku bersorak menyemangatinya, membuat penonton yang lain ikut bersorak antusias kepada Renjana. Pertandingan pun selesai dan Renjana memenangkannya dengan mudah. Dia mendapat hadiah baju, uang dan tempat minum dari panitia lomba. Tak lupa aku memfotonya. Lihatlah! Senyum Renjana manis sekali!
Hingga akhir SMA, aku masih berteman dengan Renjana. Dia selalu ada untukku, bergitu pula sebaliknya. Renjana memang tidak bersekolah, tapi dia anak yang pintar dan berbakat. Terkadang ketika berpergian, dia membeli buku pelajaran di pasar loak dengan sisa tabungannya. Dia pun direkrut menjadi tukang bangunan. Kami sama-sama sibuk.
Beberapa tahun kemudian, ada berita baik menimpaku. Aku mendapatkan beasiswa kuliah di Tokyo, Jepang. Tentu aku dan orang tuaku gembira. Tapi yang membuatku sedih adalah harus berpisah dengan Renjana. Beberapa hari setelah menerima surat lulus beasiswa, aku berpamitan kepada Renjana yang sedang berada di proyek pekerjaannya. Tidak bisa bohong. Wajah Renjana terlihat menahan tangis. Begitu pula denganku. Setelah beberapa menit berbicara empat mata, Renjana melepasku. Tiba saatnya aku harus ke bandara.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, pikiranku hanya berisi tentang teman masa kecilku. Saat ada kelas, atau jalan-jalan bersama teman baru, Renjana menghantui diriku. Kami tidak bisa saling berkomunikasi karena Renjana tidak memiliki ponsel. Ingin memberinya surat, tetapi aku tidak tahu alamatnya dimana. Karena selama ini Renjana tidak pernah menunjukkan dimana letak rumahnya berada. Yang kutahu hanya pasar. Aku menyesal. Kenapa tidak kutanya saja sebelum pergi? Aku benar-benar bodoh!
Kalender terus berganti hingga menunjuk pada tanggal liburan musim panas di Jepang. Tidak perlu berpikir dua kali, aku membeli tiket ke Indonesia. Benih perasaan rindudan cinta itu tumbuh. Aku ingin bertemu orang tuaku, dan Renjana. Perasaan bahagia menyelimuti diriku. Secepat mungkin aku menuju bandara dan siap meninggalkan Jepang.
Perasaan bahagia itu hancur dalam sekejap. Aku berdiri di depan pasar yang telah lama tak kulihat. Hujan membasahi tanah airku. Seorang wanita tua menghampiriku sambil menangis. Dia ibunya Renjana. Wanita tua itu memegang lenganku, wajahnya tertunduk. “Mala. Ibu senang kau kembali ke sini. Tapi jika kau mencari Renjana, dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. 1 minggu yang lalu, Renjana mengalami kecelakaan hingga kekurangan banyak darah. Maafkan ibu karena tidak bisa menjaganya untukmu! Mala, Renjana mencintaimu, nak. Dia selalu memikirkanmu.” Tangis wanita tua itu pecah. Tubuhku lemas dan terjatuh. Air mata mulai mengalir di wajahku. Tak bisa berkata-kata. Hatiku sakit. Seolah-olah jutaan panah menusuk diriku.
Renjana, apakah kau bisa mendengarkanku dari surga? Aku mencintaimu. Bisakah kita bertemu lagi di kehidupan selanjutnya? Selamat istirahat, kekasihku, matahariku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H