Langit diselimuti awan gelap. Suara petir terdengar susul-menyusul memekakkan telinga. Beberapa bulan terakhir, hujan membungkus beberapa wilayah di negeri ini, termasuk kota tempat tinggalku. Bahkan ada peristiwa dimana hujan tidak berhenti selama beberapa hari. Setiap kali menonton televisi, hal yang pertama kali muncul adalah bencana banjir. Sebelum aku tahu bahwa ada sesuatu dibalik turunnya hujan selama ini. Kukira semua ini hanyalah bencana biasa.
Namaku Mentari, usiaku 17 tahun yang selalu mengenakan topi berbahan jeans di kepala. Selain bersekolah, aku juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai relawan untuk mengisi kesibukkan dan membantu warga yang sedang berkesusahan.
Kuawali hariku dengan membuka tirai jendela. Pemandangan di luar sana diisi oleh hujan lebat, dan itu tidak mengherankan. Udara pagi ini terasa dingin. Aku bergegas menuruni anak tangga untuk mengambil segelas air putih hangat. Tak lupa mengecek ponsel, itu bagian terpenting zaman sekarang. Eh? Pesan dari Organisasi Relawan? Satu menit aku termagu membaca isi pesan itu. Ini tiba-tiba sekali. Aku mendapat misi berskala satu. Semakin kecil angka skala, maka semakin serius masalah yang harus ditangani. Dua jam kedepan aku harus segera tiba di markas organisasi relawan. Biasanya ketika seseorang mendapatkan misi, pihak organisasi akan mengabari 2-3 hari sebelumnya. Kali ini tidak. Sepertinya penting sekali. Untung saja hari ini tidak ada sekolah. Jadi, aku langsung berkemas membawa barang-barang seperlunya dan mengenakan seragam relawan. Perjalanan dimulai.
Jas hujan sudah menutupi tubuhku. Kukeluarkan sepeda berwarna biru dari bagasi rumah. Sepeda paling berharga karena pemberian ayah yang sudah meninggal 4 tahun lalu. Aku mengayuh sepeda dengan bersemangat. Jarang sekali aku mendapatkan misi, karena organisasi tahu aku masih sekolah. Mereka hanya memberiku misi ketika sedang libur seperti sekarang. Itu pun jika ada misi yang harus dikerjakan. Jarak antara rumah dengan markas tidak begitu jauh. Mungkin hanya membutuhkan kisaran setengah jam. Terlihat anak-anak yang sedang bermain hujan-hujanan, kendaraan berlalu-lalang, kilat bersinar berkali-kali. Selama setengah jam perjalanan, tetesan air hujan seolah-olah sedang menusukku. Akhirnya gedung besar markas organisasi terlihat. Segera kuparkirkan sepeda biru ke dalam parkiran indoor dan bergabung bersama teman-teman relawan.
Kami membahas tentang apa yang akan ditangani. Sebuah banjir bandang yang menghancurkan banyak rumah serta memakan banyak korban jiwa. Misi kami yang utama adalah mengevakuasi jenazah dan mengamankan korban ke pengungsian. Tiga puluh menit menit berlalu setelah briefing membahas apa saja yang harus kami lakukan. Kendaraan Organisasi Relawan telah menempatkan diri, siap untuk mengantar para petugas relawan ke tempat tujuan. Desa Sunyi. Sebuah desa terpencil yang jauh dari wilayah kota.
Tubuhku mematung. Lihatlah! Betapa mengenaskannya kondisi desa ini. Rumah hancur terbawa arus, para warga sedang berusaha menyelamatkan diri, anak-anak kecil menangis, sawah-sawah teredam air, itu pemandangan yang mengerikan. Tanpa banyak bicara, kami membagi beberapa tim dan berpencar.
Aku ditugaskan bersama seniorku yang bernama mbak Tarin untuk mengevakuasi korban yang masih selamat. Jika menemukan jenazah, kami hanya perlu melapor ke tim evakuasi jenazah lewat handy talky. Aku dan mbak Tarin meluncur ke salah satu rumah yang belum terlalu hancur tetapi sudah tenggelam air separuhnya. Kami memeriksa sekitar rumah itu dan tidak menemukan apa-apa. “Kalian berdua...” Terdengar suara lirih perempuan. Aku dan mbak Tarin yang ingin kembali, membalikkan badan dan menoleh ke sumber suara. Astaga! Seorang nenek? “Kalian jangan pernah memeriksa lahan sawah yang berada di belakang rumah ini,” ujar nenek, kemudian terdengar suara brukkk, nenek itu terjatuh. “NENEK! HEY, NENEK TIDAK APA-APA?” Teriak mbak Tarin. Beberapa saat kemudian, ia menggeleng. Nenek itu meninggal. “Mentari, aku akan membawa nenek ini keluar dari rumah ini, lalu menghubungi tim evakuasi jenazah di sana. Kamu coba periksa lagi rumah ini, mungkin masih ada kerabat nenek ini yang tinggal di dalam.” Kata mbak Tarin. Aku mengangguk dan meneruskan memeriksa rumah ini.
Pikiranku diisi oleh kalimat terakhir nenek tadi. Maksudnya apa? Tidak boleh ke lahan sawah di belakang rumah ini? Kenapa? Mataku lincah memeriksa sekeliling ruangan di rumah ini. Banyak perabotan rumah terjatuh dan terendam air. Kakiku juga terendam air setengahnya, sedikit sulit untuk bergerak. Tapi, langkahku terhenti ketika sedang memeriksa sudut ruangan. Di depan ku sekarang, ada sebuah lorong menuju ke luar rumah? Dan jauh di sana ada sebuah pintu yang terlihat hanya berdiri setengahnya karena terendam banjir.
Aku melangkah ke sana. Mungkin ada seseorang yang harus diselamatkan. Kulihat sekitar, sekarang kondisiku sedang berada di luar rumah tadi. Dan, di depanku ada sebuah pintu yang tidak mengarah ke sebuah bangunan tertentu. Ini hanya pintu yang berdiri. Ya, seperti itu. Aneh sekali, untuk apa pintu seperti ini? Eh, tunggu. Jika kuamati lagi, di sekitar pintu ini adalah lahan sawah yang memang sudah sudah direndam banjir. Tapi, aku yakin sekitar pintu ini adalah sawah. Jangan-jangan ini tempat yang dimaksud nenek tadi?
Rasa ingin tahu ku menjadi-jadi. Di pikiran ku hanya terisi keinginan untuk melihat apa yang ada di dalam pintu itu. Masalahnya, desa ini terkena banjir bandang. Tapi bagaimana mungkin pintu ini masih bisa berdiri dengan kokoh? Aku sudah lupa tentang tugasku sebagai relawan. Kaki ku melangkah maju dan menarik tuas pintu. Eh, sebuah katana? Katana berwarna hitam mengambang. Selain itu, tidak ada apa-apa di sana. Aku mengambil katana dari pintu itu. Keren, katana ini cantik sekali. Ada motif air bergelombang di bagian besinya. Kumainkan sedikit katana ini. Ciatt ciatt Splash splash! Setelah beberapa menit terpesona, tanah terasa bergetar hebat. Ya ampun, ada apa ini? Aku menoleh kebelakang. Rumah yang tadi sudah setengah hancur, kini hancur total akibat guncangan. Tubuhku terpelanting kesana dan kemari sambil memegang katana. Kring…kring, Tubuhku membeku. Dari pintu, keluar seekor mahluk raksasa bewarna putih terbang keluar. Terlihat gagah, tetapi juga menakutkan. Matanya merah menyala. Sisik-sisiknya mengerikan. Ia meraung kencang. Kenapa masih ada hewan seperti ini di zaman sekarang? Setelah tubuhnya sudah keluar semua dari pintu, aku sadar bahwa mahluk itu adalah seekor naga.
Guncangan berhenti setelah keluarnya naga dari pintu. Katana yang kupegang berubah warna menjadi biru dan berbicara. Membuatku kaget tak terhingga. “Wahai, bukankah seharusnya seseorang sudah mengingatkan mu untuk tidak memeriksa sesuatu di sekitar lahan sawah? Hanya orang di desa ini saja yang bisa mengalahkannya. Ah..tidak ada waktu untuk menceramahimu. Cepat gunakan aku untuk memotong kepala naga! Dia adalah dewa air. Mahluk yang mengirimkan bencana air ke dunia kalian. Ini adalah siklus yang terulang-ulang selama 2000 tahun. Dan sekarang sudah waktunya terulang kembali. Bencana tidak akan berakhir sebelum seseorang memotong kepalanya. Setiap siklus, akan ada seseorang yang memiliki takdir untuk menghentikan bencana. Begitu juga ketika Sang dewa air terbunuh, Ia akan ber-reinkarnasi. Sekarang giliranmu, gadis cilik! Tenang saja, yang melihat naga ini hanya dirimu. Orang lain tidak bisa melihat keberadaan naga ini. Aku adalah seseorang yang mengemban takdir ini sebelum dirimu. Tepat 2000 tahun yang lalu. Aku berhasil mengalahkan dewa air, tapi aku terkutuk menjadi katana tepat setelah melihat matanya yang berwarna merah itu. Dan menjadi segel. Itulah mengapa ketika kamu mengeluarkanku dari pintu, Sang dewa keluar. Segel nya terlepas. Ayo! tunggu apa lagi?”
Setelah mendengar katana aneh ini berbicara, aku tidak punya pilihan selain melawan dewa air itu. Aku berlari kecil-kecil sambil memegang katana. “Naik di atas reruntuhan rumah itu, gadis cilik!” Katana ini berbicara lagi. Aku mengangguk. Susah sekali untuk mendaki reuntuhan yang sudah tenggelam air. Dua menit kesusahan, akhirnya aku berhasil berdiri di puncak reruntuhan. “Tutup matamu, jangan sampai kau melihat mata dewa air. Akan kuberi aba-aba ketika dewa air ini mendekat. Kamu hanya perlu mengayunkan katana ini, tepat setelah aku memberi perintah!” Tepat setelah katana berbicara, Sang dewa air membalikkan badan dan terbang ke arah ku. Cepat sekali gerakannya. Kututup mataku sesuai yang diperintahkan. Tiga, dua, satu “TEBAS!”. Aku mengayunkan katana tidak kalah cepat. SPLASHHH!.. BOOM!
Beberapa saat, suasana berubah menjadi hening. Ketika membuka mata, Sang dewa air sudah mati tertebas. Dan lama-kelamaan, menghilang. Katana yang kupegang bersinar dan lompat dari genggamanku. Eh? Katananya berubah? Sinar sangat amat terang menyelimuti sekitarku. Lama-kelamaan aku bisa melihat wujudnya dengan jelas. Seorang laki-laki berusia sekitar 20 tahun. Rahang nya tajam, gagah dan tampan. Ia tersenyum ke arah ku. “Terimakasih sudah berhasil menghentikan bencana banjir, dan melepas kutukanku dari Sang dewa air. Aku tidak menyangka ada seseorang dari luar desa yang bisa menghentikan bencana ini. Karena hanya orang di desa ini yang sudah memiliki pengetahuan tentang seluk-beluk Sang dewa air. Wahai, tolong rahasiakan semua ini.”
Penulis : Livia Devina Mamahi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H