Mohon tunggu...
Livia Amanda
Livia Amanda Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bagaimana Sang Pemimpin Harus Berakhir?

6 Mei 2015   06:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:20 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat dunia mengambil keputusan, sosok utama yang berperan adalah pemimpin. Saat kesusahan datang, orang pertama yang harus kita dengar adalah pemimpin. Kita hidup di bawah sosok pemimpin. Banyak orang mengejar kekuasaan dan memperebutkan kursi kepemimpinan. Menjadi seorang pemimpin tampaknya hebat, tapi kisah apakah yang sesungguhnya terjadi di balik kekuasaan yang mungkin diidamkan orang banyak?

Goenawan Mohamad dalam artikelnya yang bertajuk Pemimpin menceritakan tiga sosok yang mungkin kita kenal selama ini, yakni Kolonel Aureliano Buendia dari kisah Seratus Tahun Kesendirian, Presiden Hary. S. Truman dan Presiden Vaclav Havel.

Tokoh pertama yang diceritakan adalah Kolonel Aureliano Buendia. Ada teks yang mengatakan bahwa ia ”Tersesat dalam kesendirian kekuasaannya yang amat besar, ia mulai kehilangan arah.” Hidupnya dipenuhi rasa curiga akan orang-orang dan dunia ini. Dalam kesendiriannya, ia menjadi paranoid. Ia pun meninggal tersandar di batang pohon tempat ayahnya yang sakit jiwa diikat dulu. Sungguh akhir yang tragis dan tak berarti.

Tak semua kekuasaan harus berakhir dengan kisah semacam ini. Namun, kita tahu bahwa di puncak kekuasaan tertinggi, tak ada yang dapat menandinginya. Di saat itulah akhir kekuasaan dapat berubah. Bukan akhir yang penuh tragedi, tapi keangkuhan. Presiden Harry S. Truman, di atas meja presidennya ia menghendaki jatuhnya bom atas Jepang, sekalipun ia tahu hal itu tidak perlu. Ia keras terhadap pihak yang kontra, tapi mendengar penasihat yang disukainya: mereka yang setuju dengannya. Tak ada keraguan dan datanglah akhir zaman.

Kekuasaan mungkin adalah salah satu hal paling utama yang dikejar manusia selama ini. Lain ceritanya dengan Presiden Veclav Havel yang telah menjalaninya. Posisinya sebagai kepala negara tidak membuatnya bertambah yakin, tapi makin mempertanyakan dirinya sendiri. Lama-kelamaan, hal yang ditanyakannya hanya: apa yang sudah dicapainya dan apa yang akan menjadi peninggalannya setelah tak berkuasa lagi.

Semakin mereka naik, semakin pula mereka melihat betapa sulitnya menguasai lika-liku perjalanan sejarah, bahkan dalam kurun waktu beberapa tahun saja. Seorang terapis budaya perusahaan bernama Herry Tjahjono, dalam tulisannya yang berjudul Kolam Kepemimpinan memeberikan dua gambaran praksis.

Pertama adalah praksis ”tangga kepemimpinan”, yakni tercapainya puncak karier kepemimpinan dengan melewati dan menuntaskan setiap anak tangga kepemimpinan sampai pada puncaknya. Kedua adalah praksis ”kolam kepemimpinan”, yakni tercapainya puncak karier kepemimpinan dengan mencemplungkangkan sang calon baik sengaja atau tak sengaja.

Masing-masing praksis memiliki kesulitannya. Bila kita melihat pada konteks Indonesia, Presiden Jokowi dapat dijadikan salah satu contoh. Beliau adalah contoh pemimpin yang melewati praksis ”kolam kepemimpinan”. Praksis ini lebih berisiko karena akan lebih banyak masa percobaan dalam mengambil keputusan.

”Kita telah mencemplungkan Jokowi ke kolam kepemimpinan bangsa, tugas kita sekarang adalah menyaksikan, mendukung, menyemangati-ketika ia megap-megap dan hampir tenggelam-agar ia bisa ‘berenang’ (memimpin) dengan baik negeri ini.” Ulas Herry Tjahjono.

Kekelaman para pemimpin adalah kolam yang mungkin tak terselami rakyat, tapi hal yang dapat kita sadari adalah kita juga ikut menarik para pemimpin ke dalam kolam itu. Dalam kekuasaan, mereka bisa berusaha semakin naik. Namun, jika mereka tak sanggup mencapai permukaan dan terlalu lama berada di dalam, kekuasaan itu akan membuatnya sesak dan memerosotkannya perlahan layaknya orang yang tak sadarkan diri dan tenggelam.

Bukan sekedar bunyi atau cuap-cuap belaka yang dibutuhkan negara kita. Bukan hanya aksi protes  yang dibutuhkan untuk membuka telinga kepemipinan. Dalam masa kekuasaannya, Kolonel Aureliano Buendia berakhir dalam kesendirian. Presiden Harry S. Truman berakhir dengan keangkuhan. Presiden Vaclav Havel berakhir dalam keraguan. Haruskah Jokowi juga berakhir dengan tragedi lainnya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun