Mohon tunggu...
Livia Berliana
Livia Berliana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebijaksanaan untuk Menghindari Kecemburuan Sosial

16 September 2022   22:19 Diperbarui: 16 September 2022   22:23 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kecemburuan sosial, ketika mendengar kata tersebut telinga kita pasti tidak asing lagi. Bahkan, kita sendiri saja, diakui atau tidak, pasti pernah mengalami kecemburuan sosial, menciptakan kecemburuan sosial, atau mungkin dicemburui oleh sosial. Itu hal wajar, sebab kita manusia biasa yang jauh dari kata sempurna. Tapi, hal yang wajar belum tentu benar, bukan?
Kecemburuan bisa lahir di mana saja, dalam lingkungan kecil seperti keluarga, sampai lingkungan besar seperti negara. Kecemburuan sosial itu terjadi biasanya akibat pemimpin yang kurang bijaksana. Ia biasanya mengistimewakan salah satu orang dan kurang memperhatikan yang lainnya meski kemampuannya tidak kalah jika dibandingkan. Maka dari situ, timbulah suatu fenomena kecemburuan sosial.
Pada bab empat puluh tujuh epos Mahabharata yang ditulis oleh Nyoman, S. Pendit sebetulnya kita bisa mencontoh sikap Karna yang bijaksana. Meskipun Karna terafiliasi dengan Kurawa yang identik sebagai tokoh-tokoh antagonis, tetapi kita tetap bisa menyerap nilai didaktis dari perilakunya.
Kala itu, Bhisma sebagai orang besar dari pasukan Kurawa telah gugur dan menyebabkan pasukan Kurawa patah semangat. Karna akhirnya mendapat restu dari Bhisma untuk menggantikannya memimpin Kurawa dalam peperangan, dan membuat semangat Kurawa kembali membara.
Menurut karna, seharusnya setiap ksatria yang memiliki kesaktian, kekuatan, dan keberanian, jika bergabung dengan Kurawa patut diangkat menjadi mahasenapati. Tentu dirinya pantas diangkat menjadi mahasenapati. Tetapi, terjadi hal dilema jika mengangkatnya sebagai mahasenapati, pasti akan terjadi kecemburuan sosial, iri dan sakit hati dari ksatria lain yang juga memiliki kekuatan, kesaktian, dan keberanian.
Oleh sebab itu, Karna tidak egois dan bersikap bijaksana. Bukannya ingin diangkat menjadi mahasenapati, ia justru merekomendasikan Drona, sebagai seorang mahaguru dari para ksatria Kurawa untuk menjadi mahasenapati. Dengan cara itu, tentu saja kecemburuan sosial tidak akan terjadi. Akhirnya, diangkatlah Drona sebagai mahasenapati baru. Semua ksatria dan para pasukan Kurawa penuh sorak sorai merayakan diangkatnya Drona sebagai mahasenapati baru.
Dari kisah Karna di atas, kita bisa menyerap kebijaksanaan yang sangat adi luhung. Tentang bagaimana cara kita untuk menanggalkan ego dan nafsu demi kemaslahatan bersama. Andai saja Karna bersikeras ingin menjadi mahasenapati, sudah pasti kecemburuan sosial dalam pihak Kurawa akan terjadi. Sehingga akhirnya bisa menyebabkan pertempuran dan kehancuran dalam pihak Kurawa itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun