Luana, apa cita-citamu?
“Lagi-lagi!” batin Luana. Ini sudah yang ketiga kalinya Luana membuat e-mail, namun ia masih saja menerima pesan misterius dari alamat e-mail yang tak dikenalnya. Isinya selalu sama.
Luana, apa cita-citamu?
Luana, apa cita-citamu?
Luana, apa cita-citamu?
Luana pernah membalas sekali, “Ini siapa? Mimpi saya jadi pelukis.” Tapi sesuai dugaan Luana sebelumnya, jawaban itu bukan yang dicari oleh si pengirim pesan. Biar begitu, Luana tidak tahu apa yang sebenarnya dicari si pengirim. Semakin banyak pesan yang masuk, Luana semakin berpikir bahwa mimpinya mungkin bukan jadi pelukis.
Di kota tempat Luana tinggal, pelukis adalah pekerjaan paling mulia dan dokter adalah pekerjaan paling hina. Semua anak muda di kota Luana bermimpi jadi pelukis. Namun, banyak dari mereka yang gagal karena persaingan yang terlalu ketat. Anak-anak muda yang gagal jadi pelukis terpaksa menjadi dokter. Kemudian mereka dicaci maki karena meminta uang dari orang sakit.
Semua orang tua di kota Luana memaksa anaknya jadi pelukis. “Pelukis itu pekerjaan yang sangat berharga, Luana,” kata ayah setiap hari saat Luana kecil dulu. Luana kecil mengangguk. “Jangan sampai kamu cuma jadi dokter. Apa bagusnya jadi dokter? Dokter adalah pekerjaan untuk orang-orang yang tidak bisa menggambar. Kemampuan mereka cuma menghafal dan meganalisa. Semua orang juga bisa meghafal dan menganalisa. Membedah mayat adalah pekerjaan yang terlalu mudah dan biasa.”
Di kota Luana, manusia yang tidak memenuhi standar orang pada umumnya akan dihina seumur hidupnya. Luana pernah mendengar ada seorang gadis beramut biru yang dikucilkan karena semua orang di kota ini berambut merah muda. Gadis itu dianggap beracun.
“E-mail yang sama berulang-ulang? Itu namanya teror, Luana. Laporkan saja ke polisi.” ujar seorang kawan.
Maka Luana melaporkannya, namun polisi di kotanya menolak untuk menyelidiki hal tersebut. Mereka menganggap Luana membual.