[caption caption="sumber: tumblr.com"][/caption]
Angkasa, hari ini saya bersimpuh di bawah langit, hal yang rutin saya lakukan belasan tahun terakhir. Saya memohonkan padanya suatu asa yang semu. Rasanya lebih seperti bercakap sendiri.
Saya tidak pernah bermaksud bercakap sendiri, Angkasa. Mereka yang memaksanya, sejak dulu. Mereka berkisah, apabila saya memohon pada langit, saya akan menerima sebuah negeri, seperti yang dijanjikan langit selama ini.
Langit tidak pernah menjanjikan apa-apa pada saya.
Saya pernah mengira di balik langit ada matahari. Saya berpikir mungkin padanya saya harus berdatang sembah. Namun matahari pergi tamasya kala saya lahir. Matahari tidak mengenal saya.
Seiring waktu saya mengeluhkan ketiadaan langit. Rasanya seperti memecahkan celengan yang selama tahunan hanya diisi kesia-siaan. Mereka menerka langit tidak mendengar saya, “Mungkin karena kamu selalu berbisik, Luana!”
Namun daripada berteriak-teriak memohon, saya memutuskan untuk menjual jiwa saya pada langit. Jiwa itu saya bungkus rapi, disertai dengan sepucuk surat perjanjian, untuk menukarkan jiwa dengan negeri. Kemudian saya lemparkan ke langit.
Tetap tidak ada jawaban, Angkasa.
Tidak ada jawaban sedikitpun.
Tidak ada jawaban sedikitpun.
Tidak ada jawaban sedikitpun.