Kamu pernah bilang negeri saya dulu tak berjiwa, namun dipaksa hidup oleh orang-orang yang berbahasa lain dengan saya. Pertama kali mendengarnya, agak mustahil memang. Bagaimana mungkin tanpa jiwa tubuh kita hidup?
Suatu kali negeri saya berjiwa, ucapmu kala itu. Ia tidak lagi dipaksa hidup. Ia berjalan ke mana ia mau, sepatunya baru dan ia mengikat tali sepatunya sendiri. Hari ini tepat 71 tahun sejak langkah pertama yang ia kehendaki sendiri itu. Apabila kelak saya sedang senggang, mungkin kamu bisa lanjutkan ceritamu, atau mungkin kita bisa berbincang lagi tentang negeri saya ketika umur sepatunya tepat seabad. Mungkin saja nanti akan...
“Luana, ini ada kiriman paket!”
Sebentar.
“Terima kasih!”
Sini bantu saya buka. Apa? Ah iya, bungkusnya warna merah dan putih. Tunggu tunggu, pelan-pelan. Jangan disobek.
...
Sayap? Oh ada suratnya. Katanya ini bisa digunakan untuk menjelajah negeri dan waktu, karena kini kita jiwa dari negeri sendiri. Jiwa sejatinya bebas menggerakan tubuh, selama tidak mematikannya. Ayo kita coba ke luar dulu lantas berterima kasih kepada pengirimnya. Coba tolong pakaikan sayapnya di punggung saya.
Oh baik, terima kasih.
...
Lihat! Semua orang di negeri ini memakai sepasang sayap. Mereka semua mendapatkan kebebasan yang sama. Hei, banyak orang berkerumun di sana! Sepertinya mereka hendak berterima kasih juga. Coba kita lihat.