“Sedang apa, Luana?” tanya Angkasa suatu malam sambil menepuk pundak saya.
“Menanam biji mata,” jawab saya.
“Biji mata siapa?”
“Biji mata saya.”
“Mengapa?”
“LUANA! Mengapa kamu bicara sendiri lagi?” saya mendengar suara ibu dari dalam rumah.
Angkasa menghilang.
***
Berhari-hari setelahnya, saya mencari Angkasa ke mana-mana. Saya mencari di dalam lemari pakaian, siapa tahu ia terlipat bersama dengan gaun-gaun cantik kesukaan saya. Saya mencari di dalam buku-buku partitur piano, siapa tahu ia terselip di antara nada-nada yang sering saya senandungkan. Saya juga mencari warna biru mudanya di dalam kotak pensil warna, tapi tidak ada.
“Kamu tahu di mana pensil warna biru muda Angkasa milik saya?” tanya saya kepada Kaira.
“Bukankah warna biru hanya ada sejenis?” tanyanya balik sambil menunjuk pensil warna yang selama ini saya kira disebut biru tua.