Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Merah

17 Desember 2019   15:02 Diperbarui: 31 Januari 2020   09:47 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

- Ibu -

Ibu kerap berujar kepada Alana bahwa anaknya itu cantik dalam balutan merah. Alana setuju. Ibu bukan hanya jatuh cinta pada warna merah, ia terobsesi bukan main. Pernah suatu kali Alana bertanya pada Ibu, "Mengapa Ibu membiarkan om itu datang ke sini pada malam hari sehingga mengganggu sesi dongeng malam kita?" Sambil menyunggingkan senyum di bibir merahnya, Ibu menjawab, "Karena om itu punya banyak lembaran-lembaran merah yang bisa membantu Ibu beli ini," ujarnya sambil menyentuh riasan merah di pipinya, "dan ini," lanjutnya, kali ini sambil mengetukkan kakinya yang tersembunyi di balik sepatu hak tinggi merah mengkilat.

- Alana -

Hai, Buku Harian.

Hari ini ketika sedang duduk di luar memandangi warna langit yang sedang menghitam, seorang anak laki-laki menghampiriku. Pakaiannya bagus, sepatunya pasti baru, dan matanya cantik. Namanya M. Ia satu-satunya anak seumuranku yang mengajakku bicara. Obrolan pertama kami tentang sekolah. Dia bingung mengapa aku tidak sedang belajar seperti yang lainnya, padahal ini musim ujian. Jadi aku jelaskan padanya bahwa aku tidak sekolah karena Ibu melarangku. Menurut Ibu, sekolah itu tidak perlu. Kelak ketika aku besar, Ibu akan mengajariku menjadi seperti Ibu, dan untuk mengemban profesinya, tidak perlu sekolah katanya. Kadang Ibu membelikanku buku-buku, tapi aku harus baca dan belajar sendiri karena Ibu sibuk. Lalu M memujiku, "kamu pintar sekali untuk ukuran seorang anak yang belajar sendiri. Cara bicaramu seperti anak yang terpelajar. Memang berbeda ya, anak-anak yang seharian bermain ponsel dengan anak yang suka membaca dan memandangi langit seperti kamu," Aku jadi senang.

Lantas M duduk di sebelahku. Dari jarak yang begitu dekat, aku bisa melihat detail pakaiannya. Sepertinya M anak orang kaya, mengapa ia tidak belajar untuk ujian juga? Tapi aku tidak bertanya. Aku terlalu takjub dengan kenyataan bahwa akhirnya aku punya teman. Dia lebih banyak bertanya kepadaku. Tentang aku, tentang Ibu, dan tentang kesukaanku melihat warna langit menghitam.

- Ibu -

Hari ini Ibu pulang lebih larut dari biasanya. Alana sudah tahu karena Ibu sudah menelpon ke rumah. "Jangan jauh-jauh dari rumah, nanti kamu diejek anak haram lagi," ucap Ibu.

"Iya tenang saja, Ibu. Lagipula, aku di rumah bersama teman baruku. Kami akan mengobrol di dalam saja, tidak main-main ke luar. Nanti kukenalkan Ibu kepada M."

- Ibu -

Ketika Ibu masuk ke dalam rumah, ia melihat Alana duduk sendiri di sofa. Ibu memang tidak dapat melihat wajah Alana karena sofa itu tidak mengarah ke luar, namun yang jelas, Ibu tidak melihat teman yang Alana sebut-sebut di telepon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun