Mohon tunggu...
Livia Halim
Livia Halim Mohon Tunggu... Penulis - Surrealist

Surrealism Fiction | Nominator Kompasiana Awards 2016 Kategori Best in Fiction | surrealiv@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cemburu] Catatan tentang Kabar Terbaru Sejak Seluruh Warna Biru di Bumi Lenyap

4 November 2018   14:35 Diperbarui: 4 November 2018   15:33 1351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Seluruh warna biru di bumi lenyap. Warna biru terakhir ada di venamu, lantas hilang perlahan bersama suara langkah kakimu yang menjauh. Meski entah berapa lama, yang pasti waktu sudah berlalu lama sejak jam dinding biru di ruangan ini meleleh dan dibersihkan mereka. Kadang, beberapa manusia mondar-mandir untuk bercakap dengan saya. Sayangnya, kain yang membungkus tubuh mereka putih juga. Saya sudah lama tidak berjumpa warnamu, Angkasa.

 Suatu kali, salah satu manusia berbalut kain putih membawakan saya sebuah pensil dan buku kosong. Tebak, sampulnya biru! Warna biru pertama setelah sekian lama, yang sebilang hari saya semogakan. "Untukmu, Luana. Tulis sesukamu untuk mengusir gelisah," ucapnya. Saya mendekap buku itu sesaat setelah diletakkan di lantai ruangan ini.

Saya hendak menuliskan seluruh huruf, namun saya berhenti di huruf A. Waktu-waktu selanjutnya saya habiskan untuk mengenyahkannya. Puluhan kali saya menusuk lembaran pertama dengan pensil. Saya iri kepada huruf yang memiliki tiga tempat dalam namamu. Tiga terlalu banyak, Angkasa, bahkan lebih banyak dari ragamu sendiri. Bisa jadi dia sudah pongah kini, menetertawakan saya yang tidak sanggup membeli ruang di mana pun sekitarmu.

Satu hari setelahnya, mereka tahu buku itu rusak. Mereka kira saya lupa cara menulis, mereka kira saya akan menyakiti diri dengan pensil. Saya sudah membela diri, juga membela kamu serta satu-satunya wujud warnamu yang bisa saya genggam.

Tidak digubris. Buku dan pensil disita. Satu-satunya warna biru di ruangan ini baru saja mati lagi, bersama huruf A yang sudah tak layak di dalamnya. Saya tak lagi melihat huruf A setelahnya, namun tak melihat membersitkan ratusan asumsi, Angkasa. Dia jelas masih melekat dalam namamu, terlalu lekat hingga mengucapkan namamu untuk diri sendiri saja jadi memilukan.

3 November 2018, L

-

Karya fiksi ini diciptakan untuk Angkasa sebagai kontribusi dalam Event Fiksi Cemburu.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun