Saya mencelupkan kaki sedikit ke air.
“Dingin.”
“Tidak apa-apa, Luana. Air kolam renang memang selalu dingin di awal, namun lama-lama tidak terasa apa-apa.”
Saya mengangguk, lalu masuk ke dalam kolam renang. Rasanya masih dingin. Saya memutuskan untuk menyelam agar terbiasa dengan dinginnya. Angkasa memutuskan untuk menunggu di pinggir kolam. “Nanti menyusul," katanya sambil meneguk segelas air es.
Saya terus menyelam. Lantai kolam warnanya putih saja, padahal biasanya ada lantai biru juga. Tapi putih saja jauh lebih bagus. Untuk apa ada warna biru? Kesannya seperti mau bersaing dengan birunya air. Hari ini air cuma bersaing dengan Angkasa, karena dia biru, selalu begitu.
Ketika sedang menyelam seperti ini, saya sering berpikir, bagaimana jika seluruh dunia hilang ketika saya mengangkat kepala ke permukaan? Bagaimana jika dunia kiamat ketika saya sedang sibuk memandangi lantai kolam renang?
“Klik!” Jika Saja berdiri di hadapan saya, ia baru saja menjentikkan jari. Saya mengintip ke luar kolam. Semuanya putih, tidak ada warna lain. Tidak ada langit atau Angkasa. Jika Saja baru saja menghilangkan dunia.
Saya mau keluar dari kolam renang tetapi kaki saya kaku. Ada rasa dingin yang muncul di telapak kaki, lantas menjalar perlahan ke atas.
*
“Kenapa airnya dingin sekali?”
“Es batunya segunung!”