“Biru muda, Kaira! Lebih muda dari ini. Seperti warna Angkasa!”
Kaira mengangkat bahu, “lagipula, Luana, seandainya warna biru muda Angkasa yang kamu cari-cari itu benar-benar ada, seharusnya saya juga memilikinya, seharusnya semua orang yang membeli sekotak pensil warna memilikinya. Seharusnya saya bisa pinjamkan untuk kamu.”
“Sebentar, Kaira. Kalau begitu es krim rasa permen karet warnanya apa? Setahu saya warnanya biru muda, seperti Angkasa.”
“Kita sudah bukan main seringnya makan es krim rasa permen karet bersama-sama, Luana. Warnanya ungu, kan?”
Saya terdiam. Mungkin Angkasa sedang bertamasya. Kemudian saya pulang ke rumah untuk menyirami biji mata yang saya tanam sebelumnya, sambil menenteng sekotak pensil warna isi sebelas.
Biji mata yang saya tanam sudah bertumbuh cukup tinggi. Tadinya saya berniat memberikan banyak biji mata kepada Angkasa, agar ia dapat melihat warnanya sendiri melalui biji mata saya, atau agar ia bisa memakannya kala ia benci saya. Agar saya tahu kapan saya dibenci, agar saya tidak perlu kesulitan menerka arti diamnya Angkasa seperti yang selama ini selalu terjadi. Ibu sudah berkali-kali mengingatkan untuk mencabut tanaman biji mata itu. “Menuh-menuhin pekarangan rumah saja!” ujarnya.
Berkali-kali juga saya berdalih warna tanaman itu hendak saya berikan kepada Angkasa kelak, namun ibu berkata ia tidak mengenal Angkasa, dan sebelumnya ia tidak pernah mendengar saya membicarakan Angkasa. Ibu bilang saya kurang istirahat, tapi menurut saya ibu hanya lupa.
Tanaman biji mata itu tumbuh semakin tinggi dan tinggi. Akarnya juga memanjang dan merusak pot. Namun Angkasa tak juga kembali. Tanaman itu kini sudah berbuah banyak. Mungkin ibu benar, tanaman biji mata hanya memenuhi pekarangan rumah saja. Sebagian diri saya tahu Angkasa tidak akan kembali. Meski begitu, harga sekotak pensil warna tetap sama meski kini tidak ada warna biru muda Angkasa. Saya merugi.
Saya berencana untuk membuang tanaman itu.
***
Hari ini ketika saya pulang ke rumah, ibu memberikan sebuah kabar yang mengejutkan saya.