"Rasanya aku sudah tidak bisa bersamanya lagi", kata seorang wanita pada ayahnya. "Dia bagaikan paku yang selalu menyakitiku dan meninggalkan bekas lubang luka didadaku", lanjut wanita ini lagi dengan suara terisak.
Sang ayah hanya tersenyum. Dipeluknya anaknya yang sedari tadi terlihat emosi. Setelah itu ia melanjutkan pekerjaannya hendak membuat meja.
"Apa yang harus kulakukan ayah? Aku bingung...", tanyanya sambil menahan tanggis.
"Coba perhatikan ini", pinta sang ayah lembut. "Menurutmu, untuk menyambungkan dua kayu ini, manakah yang harus ayah paku?", tanya sang ayah terlihat sedikit kebingungan.
"Aku rasa disini ayah...", jawab putrinya pelan.
"Benarkah? Lalu bagaimana seandainya salah?", tanya sang ayah lagi.
"Jika salah kan bisa dipaku pada tempat yang benar lagi ayah", jawab putrinya sedikit tersenyum mengira ayahnya yang sudah berumur mulai pelupa.
"Lalu bagaimana dengan bekas lubang itu? Kan jadi jelek kayunya ada bekas tersebut", tanya sang ayah sambil mengaruk-garuk kepalanya.
Putrinya tertawa kecil melihat tingkah ayahnya.
"Ayah..., itukan cuma bekas lubang paku saja. Sekalipun banyak salah, nanti juga akan benar kok. Lagipula, bekas lubang itu juga akan hilang setelah dilapisi cat yang bagus dan indah. Kalau ayah terlalu terfokus pada bekas lubang itu, bagaimana ayah akan bisa menyelesaikan meja...nya....". Kata-katanya terhenti sambil kedua tangannya menutupi mulutnya. Air matanya pun membasahi wajahnya.
Sang ayah tersenyum lembut melihat putrinya. Dipeluknya dengan penuh sayang putri yang sangat dicintainya. Katanya.
"Sayang..., paku yang telah dipaku pada kayu, memang akan meninggalkan bekas, dan itu seperti perasaan hatimu yang terluka. Tetapi ingatlah juga, paku yg dicabut itu juga menjadi tidak berguna karena bengkok bahkan patah".
"Sesungguhnya, yang terluka itu bukan kamu saja yang mempunyai bekas paku tersebut, tetapi pakunya juga".