“Ma, sepertinya aku batalin pernikahanku aja ya…”, curhat Caroline pada ibunya. “Lho, kenapa sayang? bukannya kalian sudah sangat cocok? kenapa tiba-tiba mau dibatalin?”, tanya ibunya penasaran dan sedikit bisa menebak jalanpikiran putri satu-satunya itu.
“Gimana ya ma, rasanya seperti…”, “Rasanya seperti tidak cerah masa depanmu?”, potong ibunya sebelum Caroline menyelesaikan kalimatnya. “Yup, seperti itulah ma. Semakin aku pikirkan semakin aku ragu. Menurut mama gimana?”, tanya Caroline sambil merebahkan tubuhnya disamping ibunya yang sedang menyulam.
Sang ibu hanya tersenyum manis. Diletakannya sulaman itu dimeja lalu dikecupnya kening putri kesayangannya itu. Dibelai rambut putrinya yang hitam panjang dan diikat model ekor kuda. “Sebelum ibu menjawab pertanyaanmu, maukan temani ibu besok pagi joging?”, tanya ibunya sambil mengecup kening putrinya sekali lagi. Caroline tidak menjawab ibunya, hanya pelukan mesra dan hangat yang diberikan sebagai jawaban iya.
Matahari subuh terasa hangat menyelimuti dua insan manusia yang sedang berlari kecil menikmati indahnya lukisan sang Maha Pencipta. Bunga-bunga seakan menyapa mereka dengan mekar warna-warninya yang indah disepanjang jalan. Kicau indah melodi para burung bernyanyi mengusir sunyi dipagi hari.
Setelah merasa cukup berkeringat, Caroline dan ibunya memilih sebuah tempat untuk beristirahat sebentar. Dengan senyuman khasnya, Ibunya mengajak dia kesebuah jembatan gantung yang sudah cukup berumur. Lalu ibunya memintanya duduk disampingnya disebuah kursi dekat pohon tua nan rindang yang meneduhkan.
“Cantikkan pemandangan disini”, tanya ibunya membuka pembicaraan. Caroline yang masih sedikit ngos-ngosan hanya bisa menganggukan kepala sambil tersenyum. Diliputi oleh kabut pagi yang masih cukup tebal, jembatan gantung tua itu hanya terlihat setengahnya saja. Dan dibawah jembatan itu malah tidak terlihat apa-apa karena kabut yang ada.
“Sayang, jika mama memintamu menyebrangi jembatan itu untuk memetik sebuah bunga, maukah kamu memetikanya untuk mama?”, tanya sang ibu sambil tetap menatap jembatan gantung tua itu. “Wah, aku tidak mau ma, jembatan itu sudah tua, bisa putus kapan saja dan kabut yang ada malah menambah bahayanya. Mending aku belikan mama bunga ditoko bunga. Cepat dan mudah”, jawab Caroline spontan dan penasaran atas pertanyaan ibunya.
Ibunya tertawa kecil mendengar jawaban putri kesayangannya itu. “Lalu apa hubungannya dengan pertanyaanku yang kemarin ma? mama tentu tidak mengajakku sekedar berolahraga pagi bukan?”, tanya Caroline berharap ibunya memang ada yang ingin disampaikan.
“Tentu saja sayang, mama sudah merawatmu dari kecil, dan dari pengalaman mama kamu orangnya tidak bisa diberi penjelasan dengan kata-kata saja tetapi perlu dengan cerita dan pengertian lainnya”, jawab ibunya dengan pandangan mengoda.
“Sekarang, mama tanya lagi ya, jika kamu diajak pangeranmu untuk memetik bunga yang sangat diinginkanmu diseberang jembatan itu, maukah kamu kesana memetiknya?”, tanya ibunya dengan senyuman penuh arti.
Kali ini Caroline tidak langsung menjawab. Sebuah pertanyaan yang mudah sekaligus susah. Jika dia mengiyakan, berarti dia harus siap kehilangan nyawanya seandainya jembatan itu putus dan jatuh kebawahnya. Tetapi jika dia menolaknya, berarti dia tidak akan mendapatkan bunga yang sangat diinginkannya.
Melihat putrinya yang sedikit kebingungan itu, ibunya mengelus kepalanya sambil tersenyum manis, bahkan sangat manis dalam belaian hangat pagi mentari. “Sayang, mama sewaktu seusiamu juga bingung dengan pilihan mama, tetapi untunglah mama datang kesini bersama nenekmu sehingga mama mengambil keputusan yang tepat dan menikahi papamu, dan bonusnya Tuhan memberikan malaikat cantik dan manis sepertimu”, kata ibunya.
“Mama tahu kamu pasti masih bingung dengan maksud mama, mama dulu juga begitu saat pertama kali dibawa nenekmu kesini. Tetapi, tunggulah sejam lagi hingga hangat mentari menuntun sang kabut pergi dan kamu akan mengerti mengapa mama bertanya seperti itu”, lanjut ibunya.
Detik demi detik berlalu, semenit bagaikan sejam dan sejam bagaikan sehari. Caroline yang sudah tidak sabaran menunggu memainkan poninya dengan jarinya. Ibunya yang melihat hanya tertawa kecil mengingatkan kembali waktu ia seusia putrinya. Dengan ketidaksabaran yang sama dan cara memainkan rambut yang sama, ia juga menunggu satu jam yang terasa sangat lama itu.
Akhirnya, jam yang ditunggupun tiba. Kabut-kabut yang menyelimuti jembatan itu pelan-pelan menghilang. Semenit demi semenit jembatan gantung tua itu akhirnya terlihat seutuhnya. Caroline yang tadi duduk tidak sabaran lalu melompat berdiri dan berlari kecil mendekati jembatan itu, sedangkan ibunya mengikutinya dari belakang dengan senyuman yang manis dan penuh arti.
“Wow…”, gumam kagum Caroline melihat pemandangan diseberang jembatan itu. “Aku tidak pernah tahu bahwa disana ada taman bunga yang begitu indah. Kok mama tidak kasih tahu padaku?”, tanya Caroline penasaran.
“Tunggu bagian terbaiknya sayang, beberapa menit lagi”, jawab singkat ibunya sambil melihat kebawah jembatan gantung tua itu.
“Ya Tuhan, jernih sekali airnya dan…”, suaranya terhenti menyadari apa yang ingin disampaikan ibunya. “Tidak tinggi bukan?”, lanjut ibunya sambil mengandeng tangan putrinya. Diajaknya putrinya melewati jembatan gantung tua itu. Kali ini Caroline sama sekali tidak menolaknya dengan alasan seperti waktu kabut masih ada.
“Sayang, apakah kamu telah menyadari sesuatu dengan melihat ini? sudahkah kamu mendapatkan jawaban yang kamu tanyakan kemarin malam?”, tanya ibunya berhenti sebentar sambil menatap putrinya pas ditengah jembatan gantung tua ini.
“Iya ma, aku mengerti maksud mama”, jawab Caroline tersenyum manis sekali sambil berputar menikmati pemandangan ciptaan Tuhan yang sangat menakjubkan itu. Tidak ada rasa takut lagi pada jembatan tua yang dipikirnya akan putus, malah sebaliknya jembatan tua ini justru sangat kuat karena tali-talinya dilapisi material khusus.
“Sayang, mama hanya mengingatkan kembali apa yang kamu dapatkan sebagai jawaban atas pertanyaanmu pada pagi ini. Kamu bertanya pada mama apakah pernikahanmu harus dibatalkan atau tidak, dan jawaban mama TERGANTUNG KAMU“.
“Mama tidak ada hak untuk mempengaruhi pikiranmu, semuanya berpulang padamu karena kebahagiaanmu adalahKAMU YANG TENTUKAN dan kebahagiaan mama adalah MELIHAT KEBAHAGIAANMU“.
“Ketika kamu ragu akan hubunganmu, kamu seperti melihat jembatan tua ini ketika kabut tebal menghalangi. Kamu takut menyeberanginya karena kamu lebih TERFOKUS pada PUTUS daripada BUNGA yang kamu inginkan diseberang jembatan sana”.
“Dan, tidak ada yang salah ketika kamu memilih tidak ingin mendapatkan BUNGA itu dan bisa MEMBELINYA ditoko bunga. CEPAT dan MUDAH lagi bukan?!”.
“Tetapi ingatlah, apa yang kamu dapatkan dengan mudah, kamu tidak akan mendapatkan apa-apa didalamnya dan kamu akan mudah membuangnya juga. Sesuatu yang BERHARGA bukan karena ia mudah atau susah didapatkan, tetapi BAGAIMANA ia didapatkan dan menjadi sebuah KENANGAN tak tergantikan”.
“Lalu setelah kamu mendapati bahwa ternyata jembatan ini kuat, bunga-bunga indah menantimu dengan hangat, kamu langsung menjadi semangat. Itulah KEHIDUPAN sayang, Tuhan sengaja memberimu KABUT diperjalananmu untuk melihat apakah kamu pantas MENDAPATKAN BUNGAMU“.
“Jadi, sekarang mama yang bertanya padamu, Apakah pernikahanmu harus dibatalkan tidak ya?”, tanya ibunya sambil memainkan bibirnya dengan jari mengoda putrinya.
Caroline tersenyum malu. Wajahnya merona merah semu. Dipeluknya ibunya dengan sangat mesra.
“Ah, mama dah tahu apa jawabanku kok. Terimakasih ma, aku sayang sekali sama mama”, jawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H