Ayam bersahut-sahutan menyambut datangnya mentari pagi, berlari-lari kecil di dalam kandang untuk dibebaskan dan diberi makan oleh pemiliknya. Tapi tentunya kau juga tau, hari masih gelap. Beberapa orang baru bangun karena keributan kecil di luar sana. Beberapa cahaya mulai melukiskan nelangsa kuning kemerahan yang memecah kegelapan.
Lihat, sudah jam 4 lewat. Tetapi aku masih belum bisa memejamkan mata sedikitpun. Pikiranku kalut sekali. Di depanku, seseorang yang cantik sedang terlelap dengan senyum kecilnya. Membuatku semakin merasa bersalah dengan apa yang ku lakukan kemarin malam. Aku sedang di rumah sakit, menungguinya yang belum sadar sejak kemarin dan aku ga tau apa ini benar salahku atau kecelakaan yang sudah ditetapkan dalam hidupnya.
Panggil dia Melati. Seorang gadis manis dengan rambut panjang menjuntai hingga punggungnya. Tipe gadis ceria yang selalu membuat orang lain betah berlama-lama bersamanya. Seseorang yang banyak dipuja oleh lelaki di luar sana, dan termasuk juga aku yang terlalu lama memendam rasa namun tak pernah kuasa untuk ku ungkapkan.
Dia hidup sendiri di kota ini, mencoba mengadu nasib saat gadis seusianya sedang asyik memilih universitas yang diimpikan, saat gadis seusianya sibuk memamerkan pasangan mereka. Dia mulai berusaha bekerja, mencari nafkah agar orang tuanya dapat hidup layak di kota terpencilnya. Namun sayang, baru saja dia hendak melangkah menemui nasib baiknya, tepat 1 malam sebelum keberangkatannya, rumahnya habis dimakan api. Kedua orang tuanya menjadi korban dan dia hanya mampu menangisi kepergiannya. Berpegang pada tekad bulatnya, akhirnya dia tetap melanjutkan perjalanannya menuju keluarga tantenya di kota ini.
Oh.. dasar nasib memang sedang tidak baik atau karena kebaikan membutuhkan perjuangan extra, ternyata keluarga tantenya sudah lama pindah dan entah sekarang berada dimana.
Dia, entah apa lagi yang ada dipikirannya, dia akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di kota ini. Ya Tuhan.. sebenarnya kota apa yang dia tuju ? Ataukah sebenarnya dia salah kota ? Yaa.. sepertinya jalan setapak yang dia lewati berbeda jauh dengan foto yang terakhir kali dikirim oleh tantenya dan akhirnya dia menyadari bahwa dia memang salah kota. Dia menangis sendiri mendapati dirinya terbangun di antara hutan-hutan. Oh.. ini bukanlah hutan biasa. Aku tinggal di sekitar hutan itu.
Dengan ragu-ragu namun sedikit terpesona, aku menyapanya. Aku mulai menyadarkannya bahwa tak jauh dari hutan ini, ada sebuah kota yang aku tinggali. Dia tersenyum dengan rasa percaya. Suatu ketulusan yang jarang kubaca dari manusia biasa.
Tak berapa lama kami berjalan dengan sedikit bicara. Tidak, bukan dia yang tak banyak bicara. Aku lah yang lebih banyak diam karena aku tak tau harus bicara apa.
Gemerisik angin menerpa batang pohon di depan sana, dia sedikit takut dan melompat ke arahku. Saat itu juga mata kami tak sengaja bertemu. Dan entah, mungkin sejak itu aku mulai menyimpan rasa untuknya. Yaa.. aku tau apa asal suara itu, aku hanya melambaikan tangan dan segera saja suara itu menghilang.
Kami terus berjalan hingga bangunan-bangunan indah terpapar indah di depan mata.
"Itu rumahku."