Mohon tunggu...
Literasi Smanike
Literasi Smanike Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Literasi Smanike

Writing....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wendy dan Ayah

12 Juni 2023   07:15 Diperbarui: 12 Juni 2023   07:31 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh Christy

"Hahaha! Ayah lihatlah, aku bisa mengayunkan ayunanku sendiri! Rasanya menyenangkan!" Tawa anak perempuan itu dengan kencang karna bisa mengayunkan ayunannya sendiri tanpa bantuan sang ayah.
"Iya nak, kamu hebat sekali. Ayah bangga sama kamu, kamu sekarang sudah bisa mengayunkannya sendiri". Pria setengah paruh baya tersebut tersenyum lebar melihat anaknya yang bisa mengayunkan ayunannya sendiri.
"Benar yah! Aku sangat hebat bukan? Bahkan aku juga sudah bisa membaca tanpa di eja oleh ayah lhoo" Anak mungil tersebut dengan riang menceritakan keahliannya pada sang ayah.
"Oh ya? Wah, ayah jadi kagum deh sekarang sama Wendy. Wendy sudah bisa melakukan semuanya sendiri tanpa ayah. Maaf ya nak? Karna sekarang ayah sudah tidak bisa mengajari segala hal, kamu jadi melakukannya sendirian sekarang".
"Aduh, ayah ini bicara apa sih? Toh juga, aku senang -- senang saja tuh melakukannya. Kan masih ada bunda yang mau mengajari. Yaahh, walaupun ibunda sekarang bekerja, jadinya aku main sama pelayan terus deh".
"Ahaha yasudah, ayah akui kalau sekarang Wendy tumbuh menjadi anak yang sangat pintar. Perlu kamu ketahui nak, ayah sangat bangga punya anak seperti kamu. Kamu, yang kuat ya? Supaya kamu bisa menghadapi dunia setiap hari dengan riang terus seperti ini".
Wendy merengut. Ia bingung tentang apa yang dibicarakan oleh ayahnya. Namun ia masa bodoh, lalu ia membalas perkataan ayahnya.
"I-iya dong yah, tenang saja aku ini adalah anak yang kuat kok, kan setiap hari selalu diberi makan sayur. Yasudah yah, aku mau masuk ke rumah dulu ya. Ayah mau ikut?".
"Tidak nak, tidak. Ayah tidak ikut. Ayah sudah tidak bisa lagi ikut dengan Wendy".
"Oh ya? Mengapa begitu? Kan ayah selama ini tinggal bersama Wendy dan ibu?" alis Wendy berkerut bingung. Apa -- apaan sih yang dibicarakan ayahnya ini daritadi, seperti ayahnya sudah tidak bersama dirinya lagi saja.
"Tidak bisa nak, kamu akan mengerti".
 
"Wendy sayang? Kamu habis darimana nak? Bunda khawatir karna kamu tidak ada di kamar" Wanita yang terlihat anggun disaat umurnya yang sudah setengah paruh baya itu mengelus kepala sang buah hati menandakan ia sedang khawatir.
"Aku habis bermain dengan ayah, bun. Rasanya aku sudah lama ya, tidak bermain dan diajari oleh ayah. Jadi aku lama -- lama kan saja bermain bersama ayah tadi". Wendy mendongakkan kepalanya untuk berbicara dengan sang ibunda.
"Huh? Pergi bermain.. bersama ayah?"
"Ih, iya lho bun. Aku tadi cerita sama banyaak sekali sama ayah, aku juga cerita sama ayah kalau--- "
PLAKK
Wendy menatap ibundanya dengan tatapan kosong. Sedangkan sang ibunda sudah balik menatapnya dengan wajah yang berderai air mata. Wendy pun menatap ibundanya.
"Bunda? Kenapa bunda.. menampar Wendy?" "Astaga nak, sadar! Ayo sadar!"
"Kenapa bun? Kenapa aku harus sadar?" "Nak.. oh astaga --
Ayahmu..
Itu sudah meninggal nak".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun