Oleh Deta Utama Kurniawan
Tidak ada satupun organisasi tidak akan pernah mengalami krisis. Hal ini terlihat bahwa organisasi besar yang ada hari ini adalah mereka yang pernah ditimpa badai krisis baik itu kecil, menengah hingga besar. Barton, (1993) mendefiniskan krisis sebagai sebuah peristiwa besar yang tidak terduga yang secara potensial berdampak negatif terhadap organisasi dan publiknya. Peristiwa ini mungkin dapat merusak organisasi, karyawan, produk atau jasa yang dihasilkan organisasi, kondisi keuangan dan reputasi perusahaan. Krisis terjadi bukan tanpa kriteria atau karateristik tertentu yang khas. Laurence Barton dalam Hardjana (1999) mengemukakan bahwa suatu peristiwa atau kejadian layak dikatakan sebagai krisis bila memenuhi tiga kriteria mendasar. Pertama, peristiwa tersebut mengandung kejutan, misalnya terjadi dengan tiba - tiba, efeknya yang meluas dalam skala ruang dan waktu. Kedua, krisis yang terjadi tersebut dapat mengancam nilai-nilai penting yang ada dan tumbuh di dalam masyarakat. Ketiga adalah krisis membutuhkan keputusan segera untuk bertindak.
Wardiman dan Amanah (2022) secara spesifik menjabarkan beberapa hal yang bisa menjadi penyebab sebuah krisis, yaitu; 1) krisis bencana alam, 2) krisis kecelakaan industri, krisis yang diakibatkan oleh kecelakaan industri dapat timbul karena human error atau mesin produksi yang rusak, 3) krisis hubungan kerja yang buruk, 4) krisis persaingan bisnis, 5) krisis persepsi publik, 6) krisis pergantian manajemen, 7) krisis kesalahan strategi bisnis, 8) krisis terkait masalah kriminal, 9) krisis produk kurang sempurna, 10) krisis bencana non alam, 11) krisis keuangan, biasanya krisis ini terjadi karena perusahaan mempunyai kasus pada cash flow atau permasalahan pada hutang yang tidak dibayar atau collapse.
Namun krisis juga bukanlah sesuatu yang menakutkan dan akhir dari segala-galanya. Buktinya organisasi yang pernah ditimpa krisispun bisa eksis dan mengalami akselerasi yang luar biasa. Bahkan para konstruksionis yang mengadopsi pemikiran Berger melihat krisis sebagai bagian dari siklus kehidupan sebuah organisasi. Krisis tidak dilihat sebagai sesuatu yang anomali tetapi lebih sebagai bagian dari permainan yang harus dihadapi organisasi untuk bertahan. Krisis dalam hal ini diidentifikasikan sebagai kesempatan yang sangat penting bagi pembelajaran organisasi untuk terus berkembang. Maka sejatinya organisasi tidak perlu merasa terbebani dengan krisis tetapi bagaimana manajemen krisis dijalankan dengan baik.
Salah satu bagian yang harus memainkan peran vital di sebuah organisasi dalam melakukan manajemen krisis adalah Public Relations (PR). Dalam era di mana berita dapat menyebar dengan cepat dan reputasi bisa hancur dalam sekejap mata, peran Public Relations (PR) dalam manajemen krisis tidak dapat diabaikan. PR bukan hanya sekadar "penyelamat" yang datang setelah krisis pecah, tetapi juga arsitek strategi yang mempersiapkan organisasi untuk menghadapi tantangan-tantangan yang tak terduga dengan keberanian dan kesiapan yang tepat. Di bawah tekanan yang besar, PR menjadi garda terdepan dalam mengendalikan pesan, membangun kepercayaan, dan merestorasi reputasi organisasi.
Manajemen krisis menurut Coombs (2007), tidak hanya berdiri sebagai satu kesatuan peristiwa saja, melainkan terbagi dalam 3 fase, yaitu pre-crisis, crisis response, dan post-crisis. Perencanaan pre-crisis dapat dilakukan dengan membentuk tim yang bertanggung jawab dalam mengelola krisis. Masing-masing orang di dalam tim memiliki tanggung jawab yang spesifik dan tugas yang jelas. Lebih dari itu, kontak akan dibuat agar komunikasi bisa terjadi dengan cara dan waktu yang tepat, tanpa perlu mencari tahu siapa yang harus dihubungi dan bagaimana menghubungi mereka di saat krisis. Perencanaan krisis yang baik akan membantu Public Relations memahami bagaimana cara mengelola krisis berikut langkah-langkahnya. Selanjutnya pada fase crisis-response, diidentifikasi sebagai fase dimana organisasi memberikan respon. Menurut Coombs (2007) terdapat 3 hal yang harus diperhatikan dalam memberikan respon, yakni cepat, akurat dan konsisten. Dalam fase ini praktisi PR menjalankan fungsi pemeliharaan dan perbaikan, dimana organisasi mengeksternalisasi realitas sosial melalui bahasa yang lebih mudah di pahami dan diterima oleh masyarakat luas. Terakhir adalah fase post-crisis, yang diidentifikasi sebagai fase untuk mengkonstruk persiapan yang lebih komprehensif untuk menghadapi krisis berikutnya. Dalam fase ini organisasi harus mulai melakukan perubahan dalam pola komunikasi di ruang publik yang merepresentasikan komitmen organisasi. Komitmen organisasi ditujukan untuk terus menjadikan publik sebagai prioritas dalam keberlangsungan relasi jangka panjang.
Selain itu, aspek yang tidak kalah penting dan harus mendapatkan perhatian besar PR dalam manajemen krisis adalah media relations. Menurut Frank Jefkins (1992) media relations atau press relations adalah usaha untuk mencapai publikasi atau penyiaran yang maksimum (optimal) atas suatu pesan atau informasi PR untuk menciptakan pengetahuan dan pemahaman bagi khalayak luas, mengenai organisasi atau perusahaan perusahaan yang bersangkutan. Tujuan utama diselenggarakannya hubungan pers adalah menciptakan pengetahuan dan pemahaman, bukan semata-mata untuk menyebarkan suatu pesan sesuai keinginan perusahaan induk atau klien demi mendapatkan suatu citra yang lebih indah dari pada aslinya di mata umum. Topan Setiawan (2019) menjelaskan sebuah organisasi yang memiliki media relations yang baik sebelum krisis memberikan sumbangsih positif dalam mempertahankan citra organisasi pada saat krisis. Pemberitaan yang disampaikan juga cenderung soft dan tidak provokatif sehingga tidak memancing reaksi negatif dari publik.
Menurut Aqua Dwipayana (2024), media relations yang kuat dapat menjadi aset yang berharga dalam menghadapi krisis. Hubungan yang baik dengan media bukan hanya memengaruhi bagaimana berita tentang krisis dipresentasikan kepada publik, tetapi juga dapat membantu dalam meminimalkan kerusakan reputasi dan memperkuat citra positif. Melalui komunikasi terbuka dan kemitraan yang terjalin baik, organisasi memiliki kesempatan untuk memperoleh liputan yang lebih objektif dan mendapatkan dukungan selama krisis.
Pada akhirnya, peran PR dalam manajemen krisis tidak hanya penting, tetapi juga kritis dalam memastikan kelangsungan hidup dan kesuksesan jangka panjang sebuah organisasi. Dengan keahlian komunikasi yang terampil, pemahaman mendalam tentang kebutuhan dan harapan publik, serta kemampuan untuk bertindak cepat dan tepat dalam menghadapi tantangan, PR menjadi kunci untuk mengubah krisis menjadi peluang dan memperkuat reputasi organisasi dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Referensi :
1. Coombs, W Timothy. 2007. "Crisis Management and Communications." Institute for Public Relations.