Mohon tunggu...
Mustamsikin
Mustamsikin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Mencintai dunia literasi, berhubungan dengan buku dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Book

Ciri Orang Yang Tertipu Dalam Buku Ashnaful Maghrurin

21 Januari 2025   21:55 Diperbarui: 21 Januari 2025   21:50 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik


Terbersit dalam hati penulis sambil rebahan untuk membuka-buka file pdf dalam rangka mencari bahan tulisan status ringan kali ini. Di antara file yang penulis simpan ada Ihya' Ulumiddin, Tanbighul Mughtarrin, hingga Ashnaful Maghrurin. Dari sekian paragraf yang penulis baca dari beberapa buku tersebut, nampaknya buku terakhir yang penulis sebut cocok untuk bahan utama tulisan ini.

Dari buku Ashnaful Maghrurin, setelah beberapa baris penulis baca sambil sekral-skrol penulis menemukan ungkapan yang menegaskan tentang ketertipuan orang yang taat kepada Allah. Singkatnya termasuk orang yang tertipu adalah mereka yang mengira bahwa ketaatannya kepada Allah telah mengungguli dari pada kedurhakaan yang ia kerjakan. Orang tersebut mengira bahwa kepatuhannya kepada Allah telah melebihi maksiat-maksiatnya.

Mengapa orang yang sedemikian masih dikatakan tertipu? Kata Al-Ghazali (W. 505) penulis kitab tersebut, yang demikian terjadi sebab ia tidak menghisab (introspeksi) dirinya sendiri, dan memeriksa kemaksiatan-kemaksiatan yang telah ia lakukan. Sedangkan ketika ia melakukan ketaatan ia simpan dalam ingatan dan ia kalkulasi benar jumlahnya. 


Al-Ghazali (W. 505), mencotohkan perilaku yang demikian seperti orang yang beristighfar atau membaca tasbih ratusan hingga ribuan kali siang dan malam, namun ia juga ghibah (Jawa: Ngrasani), kepada sesama muslim. Ia juga mengatakan sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah swt, sepanjang hari. Ia fokus menengok pada pahala membaca tasbih namun lupa akan hukuman bagi orang-orang yang berdusta, suka mengadu domba, dan orang-orang munafik. Sungguh orang yang demikian telah murni tertipu.

Penulis memahami statement pada bagian ini, sungguh merasa tersindir atau bahkan termasuk tersangka. Mengapa itu terjadi? Sebab sekalipun sering membaca kalimat-kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil), sering kali masih larut dalam obrolan yang berujung pada ghibah. Bahkan tidak jarang ghibah menjadi sebab utama obrolan itu sendiri.

Lalu bagaimana agar itu tidak terus berlangsung? Al-Ghazali (W. 505) melanjutkan pernyataannya, sejatinya seseorang harus lebih menjaga lisan dari maksiat itu lebih kokoh daripada bacaan tasbihnya. Ia lebih mengutamakan meninggalkan maksiat daripada melaksanakan ketaatan namun juga melakukan kemaksiatan. Sehingga poin kebaikan yang ia lakukan terasa lebih banyak, akan tetapi tidak sadar bajwa poin keburukannya juga terus meningkat.

Besar harapan penulis, semoga kita tidak termasuk orang yang demikian. Semoga Allah senantiasa menjaga diri kita dari kedurhakaan yang sangat potensial kita lakukan.

Demikian semoga bermanfaat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun