Rakyat Indonesia memang cukup menarik dan fenomenal dalam memandang sebuah partai politik. Sikap pragmatis akibat ekonomi yang semakin mengencangkan ikat pinggang rakyat menjadi bagian terpenting dalam pesta demokrasi yang di tujukan untuk memilih para wakil rakyat tahun ini. Hal ini terlihat dari masih kurang kritisnya rakyat Indonesia dalam memilih dalam pemilu 2014 yang di penuhi dengan 'money politics' yang merupakan awal dari persoalan bangsa ini yakni korupsi.
Apapun itu hasil akhir yang menentukan benar tidaknya tindakan yang dilakukan oleh berbagai peserta pesta demokrasi alias Pemilu 2014 ini. Tidak ada dalam sejarahnya kemenangan dari sebuah partai akan terganggu akibat tindakan yang di lakukan sebelumnya walaupun secara jelas mungkiin bukti dan fakta sudah terpampang di depan mata. Kata kuncinya adalah "oknum" yang menjadi kambing hitam dan tidak terindikasi dari organisasi.
Penulis bukanlah seorang yang menjadi tim sukses, kader atau simpatisan fanatik dari satu buah partai, penulis hanya melihat dan ikut dalam memilih dengan melakukan analisa secara individu serta menentukan pilihan berdasarkan kemampuan analisa yang di anugrahkan Tuhan kepada dirinya. Sebagai orang dengan intelektualitas yang cukup maka dapat di baca "track record" dari berbagai peserta pemilu 2014. Sayangnya tidak semua orang melakukan hal itu dan jadilah hasilnya seperti saat ini dimana masyarakat memilih partai dengan tingkat korupsi di atas rata-rata dari partai yang paling kecil melakukannya.
Realitas ini memang harus di kaji lebih jauh lagi agar bangsa ini tidak terpuruk dalam lubang yang sama dalam melihat persoalan yang muncul (baca: korupsi). Paket WIN-HT yang memenuhi dasar UUD1945 dalam kontestasi pesta demokrasi ternyata tidak mampu membawa hasil yang maksimal karena politik di Indonesia mampu mengangkangi aturan dasar yang telah di sepakati bersama yang bernama UUD1945 tsb.
Dengan tidak berhasilnya partai pengusung WIN-HT ini mendulang suara dari masyarakat dalam perhitungan quickcount maka secara rasional seharusnya salah satu tokoh ini menjadi daya tawar untuk berkoalisi dengan partai lain jika memang ingin duduk dalam pemerintahan. Tetap mempertahankan paket ini sebagai alternatif tentunya sulit dilakukan karena perolehan suara dari partai pengusungnya tidak mencukupi secara signifikan.
Menakar kebutuhan pemimpin Indonesia saat ini banyak yang belum tersadarkan bagaimana Indonesia kini menjadi salah satu negara paling "rentan". Sebut saja ancaman disintegrasi bangsa hingga kalahnya rasa nasionalisme sehingga pragmatisme ekonomi menjadi prioritas adalah salah satu persoalan yang paling utama di hadapi oleh pemerintah ke depan. Arus informasi yang sedemikian bebas dan tidak di iringi oleh sistem pendidikan masyarakat yang baik menjadikan Indonesia seperti kapal besar yang terombang-ambing di tengah lautan. Tidak tau harus kemana dan bagaimana bertindak.
Untuk itu perlu adanya pemimpin yang kuat yang mempunyai pengalaman dalam mengatasi masa - masa sulit. Pemimpin yang tidak lagi mementingkan dirinya sendiri, tidak berniat membangun dinasti politik untuk kelanggengan kekuasaan dan tentunya mempunyai kompetensi serta pendidikan yang mumpuni untuk membuat kebijakan yang tepat untuk bangsa ini.
Secara sistem yang ada, tentu setiap partai pengusung mau mencalonkan calonnya masing-masing, jika hanya di dasari oleh kemenangan atau tingkat perolehan suara saat pemilihan legislatif maka akan sangat berbahaya dan sulit mewujudkan pencarian pemimpin dengan syarat diatas. Kita hanya akan menemukan para "petualang" politik yang memanfaatkan suara rakyat untuk kepentingan golongan dan dirinya sendiri. Dan jika ini di biarkan maka bersiaplah Indonesia menuju masa suram kembali.
Penulis berpendapat bahwa salah satu tokoh yang bisa membawa persatuan dan mempunyai latar belakang serta pengalaman yang tepat untuk menjadi pemimpin di negara ini adalah sosok Jendral Wiranto (JW). Kearifan beliau sebagai pemimpin terlihat ketika berani melakukan re-strukturisasi internal Hanura dengan memasukan Hary Tanoe sebagai ketua Bapilu yang menjadi satu-satunya kesempatan Hanura untuk memenangkan Pemilu dalam kurun waktu 5 tahun. Keberanian memadukan antara dunia bisnis profesional dan dunia politik memang membutuhkan kesabaran tersendiri. Walaupun terkesan di beberapa golongan gagal namun jika di lihat lebih jauh lagi peningkatan itu sudah lumayan.
Kini dengan experimen tersebut dan kesempatan pengalaman yang di berikan kepada HT tentulah sebagai seorang yang punya keinginan membangun negara ia paham bahwa dirinya harus mendukung JW untuk masuk dalam pemerintahan agar dapat membawa visi dan misi WIN-HT. Toh, sosok JW sendiri kemungkinan hanya akan ada di dalam 1 periode saja sehingga 'nothing to loose' untuk mewujudkan mimpi Indonesia.
Jika HT mendukung JW untuk masuk ke lingkaran eksekutif, maka kekuatan Hanura menjadi full, dengan perolehan 5 -6% suara dan dukungan media bisa menjadi efektif membantu memenangkan pilpres nanti. Hal ini juga untuk mencegah para petualang politik yang tidak mempunyai partai politik atau bahkan bukan kader partai tersebut mengambil alih dengan alibi koalisi persatuan yang pada akhirnya hanya ingin mendapatkan kekuasaan semata-mata. Semoga.