Ngertakeun Bumi Lamba merupakan sebuah upacara yang dilaksanakan di Tangkuban Parahu, CIkahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Upacara ini diinisiasi sekitar tahun 2008 yang berawal dari segelintir masyarakat berbasis perkotaan melakukan perjalanan ke Kanekes untuk bertemu dengan kokolot (orang tua / tetua) dan menyampaikan sebuah keinginan untuk kembali berpegang teguh kepada ajaran leluhur.Â
Pada Provinsi Banten sendiri Jaro Daina (kokolot) mengajarkan untuk menjaga tempat tinggal dan pada konteks Suku Kanekes adalah Gunung Kendeng, tempat hulu air dan penopang kehidupan Provinsi Banten. Dan jika di Jawa Barat, Jaro Daina mengamanatkan untuk menjaga 3 gunung yaitu Gunung Gede Pangrango, Gunung Tangkuban Parahu, dan Gunung Wayang. Akhirnya ke 3 gunung tersebut diamanatkan kepada orang-orang di sekitar wilayah gunung tersebut untuk memeliharanya.Â
Pada saat itu belum dipahami mengapa ketiga gunung tersebut yang disebutkan. Dalam perspektif Lucky Hendrawan (Abah Uci), 3 gunung ini mewakili aspek kedirian yang harus terjaga dengan baik yaitu, Pikiran (Tangkuban Parahu), Nurani (Gede Pangrango), dan Lelaku (Wayang). Dan seiring berjalannya waktu, diketahui bahwa ke 3 gunung tersebut merupakan pemegang kunci kehidupan di masyarakat Pulau Jawa bagian Barat. Gunung Tangkuban Parahu dengan kawah aktifnya yang harus terus diwaspadai, menjadi sumber kesuburan wilayah sekitarnya. Selain itu, tercatat dalam Prasasti Kebantenan, wilayah Jayagiri di kaki Gunungnya merupakan Leuweung Larangan (hutan yang disucikan) yang harus dijaga tetap alami, jauh dari eksploitasi dan kontaminasi aktivitas manusia. Sedangkan Gunung Gede Pangrango, yang sejak dulu disucikan Pakuan Pajajaran, merupakan hulu dari sungai-sungai penting Jawa Barat dan Jakarta Raya, salah satunya adalah Sungai Ciliwung. Dan Gunung Wayang yang terdapat di Situ Cisanti merupakan hulu dari Sungai CItarum, sungai besar penopang kehidupan masyarakat Bandung Raya dan sekitarnya, hingga utara. Ngertakeun Bumi Lamba bertempat di Tangkuban Parahu sebagai pengingat tempat yang harus disucikan. Diselenggarakan ketika minggu pertama saat titik balik siklus matahari menuju ke selatan, sebagai pengingat waktu untuk "beberes" di musim kemarau agar siap menyambut musim hujan, sebagai bentuk perayaan rasa syukur.
Terlepas dari itu semua, gunung hidup dan menyokong penghidupan segala jenis kehidupan. Gunung dipercaya sebagai kabuyutan yang sudah ada jauh sebelum leluhur ada dan akan tetap ada setelah keturunanya tiada. Upacara Ngertakeun Bumi Lamba di Tangkuban Parahu yang dilakukan konsisten sejak tahun 2009 ini merupakan sebuah bentuk persyaratan adat yang menggaungkan pesan bahwa gunung, setidaknya yang disebutkan tadi harus kembali dihormati dan disakralkan.Â
Sebelum "Ngertakeun Bumi Lamba" upacara pertama di gunung Tangkuban Parahu bertajuk "Kuwera Bakti Dharma Wisundarah''. -- Kuwera Bhakti merupakan upacara besar 8 tahunan (Windu) yang diselenggarakan oleh negara di Pakuan Pajajaran, nama 'Kuwera Bhakti' ini diadopsi untuk tajuk upacara setiap windu. Sejak dulu Windu digunakan sebagai penanda pergatian fase kehidupan. Windu memiliki siklus yang terdiri dari 4 siklus, sehingga satu siklus windu memakan waktu 32 tahun. Siklus pertama merupakan sistem pra lahir, seperti bayi dalam kandungan yang akhirnya keluar ketika menginjak hitungan ke 9. Dan dalam fase kedua merupakan fase tumbuhan dimana akar membangun struktur dasar hidup seperti akar untuk mengumpulkan sumber daya dan daun untuk mengolah sumber daya, namun mobilitasnya masih sangat terbatas. Sedangkan siklus ketiga memasuki fase hewani yang sebelumnya tumbuhan (cicing) menjadi hewan (ulin), dan mulailah timbul kemungkinan untuk melanglang buana untuk membangun kekuatan. Dan yang terakhir fase keempat, memasuki fase manusia (mingpin) dimana gerakan ini harus sudah bisa mengolah sumber daya yang dikelolanya menjadi manfaat untuk kehidupan lebih luas. Dan pada tahun ini Upacara Ngertakeun Bumi Lamba hendak mengakhiri siklus ke duanya yaitu 16 tahun, dan hendak memasuki siklus ketiga. Jika diibaratkan manusia, siklus windu ke tiga (usia 17-24 tahun) adalah masa dimana api semangat untuk belajar, berkembang, dan berjejaring sedang sangat membara.Â
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa upacara tahun ini sekaligus menjadi pengantar kita memasuki windu ke tiga agar api yang membara itu menjadi energi penggerak yang positif bagi para pewaris pengetahuan leluhur Nusantara. 'Wisundarah' selaku tajuk pertama upacara Ngertakeun Bumi Lamba menceritakan tentang Wi (puncak), Sunda (ajaran / Gunung Sunda), dan Rah (Ruhani), menyiratkan harapan untuk menuju puncak keruhanian "Sunda". Selanjutnya istilah Ngertakeun Bumi Lamba digunakan sebagai nama upacara, dengan mengangkat tema berbeda pada setiap tahunnya. Pada tahun 2024 Ngertakeun Bumi Lamba menyambut penghujung windu kedua dengan mengusung tema "Kuwera Bakti Jala Surah Nusantara". Jala bermakna 'jaring', sedangkan Su bermakna 'yang terbaik' dan Trah bermakna 'garis darah', yang tidak terhenti pada ganesh / ganapati / genetik leluhur dalam diri, namun juga nilai dan pengetahuan yang diwariskan. Jala Sutra juga dapat diartikan penjaring yang terbuat dari serat sangat halus, lembut, dan membuat nyaman, mencirikan persaudaraan yang terjalin melalui upacara Ngertakeun Bumi Lamba.Â
Ngertakeun Bumi Lamba sendiri merupakan sebuah cita-cita dan jalan hidup leluhur yang tersurat dalam salah satu bagian pembuka naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian (1440 Saka / 1518 M), yang ditulis pada masa pemerintahan Prabu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja yang berisi petunjuk dalam kehidupan bermasyarakat. Berikut isinya : "Ini pakeun urang ngertakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana, linyih pipir, caang buruan. Anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi, paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowe waras, nyewana sama wong (sa)rat. Sangkilang di lamba, trena taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, landung tahun, tumuruwuh daek, maka hurip na urang reya. Inya eta sanghyang sasana kreta di lamba nga-rana"
Artinya, "Ini (jalan) untuk kita mensejahterakan dunia kehidupan, jalan bersih, tanaman subur, sandang cukup, halaman belakang bersih, halaman rumah bersih. Bila berhasil rumah terisi, lumbung terisi, kandang ayam terisi, ladang terurus, sadapan terpelihara, hidup panjang, selalu sehat, sumbernya terletak pada manusia sedunia. Seluruh penopang kehidupan, rumput, pohon-pohonan, rambat, semak, rerimbunan hijau tempat tumbuh segala macam buah-buahan, banyak hujan, pepohonan tinggi karena subur tumbuhnya, memberikan kehidupan kepada orang banyak. Ya itulah (Sanghyang) yang dinamakan kesejahteraan hidup.".Â
Kata "pakeun" sebagai pembuka, menyiratkan bahwa sejahtera merupakan cita-cia yang melandasi keseluruhan isi naskah tersebut, yang harus meresap ke dalam keseharian kita agar itu bisa terwujud. Upacara Ngertakeun Bumi Lamba adalah salah satu langkah kecil untuk mengawali apa yang dicita-citakan, yaitu mensejahterakan alam. Dikutip dari instagram Panggelar Ngertakeun Bumi Lamba, warisan cita-cita tentang kesejahteraan semesta ini sesungguhnya adalah bekal untuk menjaga, memelihara, dan mengembangkan alam kehidupan kita saat ini, dan yang akan datang.
Pada upacara Ngertakeun Bumi Lamba kemarin, kami perwakilan Himpunan Mahasiswa Pariwisata Indonesia Dewan Pimpinan Wilayah 2 berkesempatan untuk mewawancarai kang Wenda Hermawan sebagai Penjaga Perapian dan Penata Sesajen di upacara ini. Menurut beliau, tujuan dari Upacara Bumi Lamba ini merupakan langkah awal atau langkah kecil untuk mengembalikan serta menumbuhkan jati diri bangsa sesungguhnya. Pada Upacara ini juga mengundang berbagai daerah selain Seperti Minahasa dan Dayak, dengan tujuan untuk membangkitkan nusantara terhadap budaya daerahnya masing masing, melalui hubungan atau ikatan antar sesama suku di Indonesia. Upacara Ngertakeun Bumi Lamba ini juga merupakan pionir yang melakukan persembahyangan secara lintas suku, lintas adat, dan lintas agama "Dengan adanya upacara ini, kita bisa bertemu, saling berbagi rasa dalam upacara, dan setelah upacara kita berbagi tugas untuk mengembalikan jati diri daerahnya masing masing agar penerus bangsa terselamatkan." Kang Wenda juga berharap dengan langkah awal dari pelaksanaan Ngertakeun Bumi Lamba ini nantinya suku Sunda yang memiliki beragam tradisi, seni, kuliner, dan kearifan lokal lainya yang unik ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari hari dan lekat pada masyarakat Sunda.
Penelitian dan Pengembangan HMPI DPW 2