Apa itu Pers?
Menurut UU No 40 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa "Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia". Pers berasal dari kata press dalam bahasa Inggris yang artinya menekan atau mengepres. Secara general pers dapat diartikan sebagai kegiatan komunikasi yang berkaitan dengan perantaraan barang cetakan.Â
Bagaimana Sejarah Pers di Indonesia?
Indonesia pertama kali memiliki pers milik bumiputera bernama "Medan Prijaji" di Bandung pada tahun 1907. Sebelumnya, keinginan memiliki pers nasional terhalang oleh kebijakan VOC yang pada 7 Agustus 1744 menerbitkan surat kabar pertamanya, "Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen" yang artinya "Berita dan Penalaran Politik Batavia". Pada 1812, Inggris membuat surat kabar "Java Government Gazzete". Pada abad ke-19 muncul surat kabar berbahasa Melayu dan Jawa, meskipun direkturnya masih orang Belanda, yakni "Bintang Timoer" (Surabaya, 1850), "Bromartani" (Surakarta, 1855), "Bianglala" (Batavia, 1867), dan "Berita Betawie" (Batavia, 1874).
Ada banyak hal yang mempengaruhi kebebasan pers di Indonesia, salah satunya adalah politik. Pada era orde baru, pers di Indonesia menganut sistem pers otoritarian dimana pers condong mendukung pemerintah. Keadaan pers cukup tertekan saat itu. Namun, setelah reformasi, pers di Indonesia lebih bebas dan terbuka. Hal ini menjadi awal mula perkembangan pers Indonesia yang leluasa tetapi tetap bertanggung jawab.
Sejarah Hari Kebebasan Pers Dunia
Hari Kebebasan Pers Dunia atau World Press Freedom Day yang diperingati setiap tanggal 3 Mei pertama kali diproklamasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1993. Penetapan 3 Mei sebagai Hari Kebebasan Pers Dunia adalah sebuah tindakan lanjutan dari rekomendasi sesi ke dua puluh enam dalam Konferensi Umum UNESCO pada tahun 1991. Hari Kebebasan Pers Dunia dibuat untuk mengevaluasi kebebasan pers di seluruh dunia, dan untuk membela media dari serangan terhadap kemerdekaan berekspresi.Â
Pemilihan tanggal 3 Mei disebabkan tanggal tersebut merupakan hari kelahiran Deklarasi Windhoek. Deklarasi Windhoek yang disusun selama seminar UNESCO tentang "Mempromosikan Pers Afrika yang Independen dan Pluralistik" adalah sebuah pernyataan mengenai prinsip-prinsip pers bebas. Deklarasi ini pertama kali disusun oleh wartawan surat kabar di Afrika di Windhoek, Namibia, dari 29 April hingga 3 Mei 1991.
Beberapa poin dari Deklarasi Windhoek yakni: pers yang independen dari pemerintahan, politik, dan kontrol ekonomi; pers pluralistik untuk mengakhiri segala monopoli dalam surat kabar dan majalah, yang menjangkau seluas mungkin pendapat masyarakat; demokrasi, kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi adalah kebutuhan mendasar aspirasi manusia; telah ditahan di penjara Afrika setidaknya 17 jurnalis, editor, atau penerbit, dan telah terbunuh setidaknya 48 jurnalis Afrika dalam menjalankan profesi mereka selama tahun 1969-1990; dan untuk membantu pelestarian kebebasan yang disebutkan di atas, pers yang independen, asosiasi perwakilan, sindikat atau serikat pekerja jurnalis, dan asosiasi editor dan penerbit, adalah masalah prioritas di semua negara Afrika.
Setiap tahun, Hari Kebebasan Pers Dunia dirayakan dengan tema yang berbeda-beda. Tahun 2022 ini, UNESCO menetapkan tema "Jurnalisme di bawah Pengepungan Digital" (Journalism under Digital Siege) dengan tuan rumahnya adalah Republik Uruguay. Era digital sangat berpengaruh terhadap kebebasan berekspresi, keselamatan jurnalis, akses informasi, dan privasi, sehingga tema ini diangkat untuk perayaan Hari Kebebasan Pers Dunia tahun 2022.