Assalamu’alaikum Wr.Wb
Tiada kata yang pantas untuk diucapkan kecuali memanjatkan puji syukur kehadiran Allah Swt., yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik, dan hidayahnya kepada kita sekalian. Sehingga kita masih dapat menikmati anugerah terindah-Nya berupa kesehatan serta oksigen yang kita hirup tanpa harus membayar sepeser pun.
Selawat serta salam mudah-mudahan tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad Saw., yang telah menunjukkan kita dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang benderang.
Teman-temanku yang saya cintai,
Tanggal 12 Rabiul Awal 1442 H, bertepatan pada 29 Oktober 2020, seluruh kaum muslim merayakan maulid Nabi Muhammad SAW, tidak lain merupakan warisan peradaban Islam yang dilakukan secara turun-temurun.
Dalam catatan historis, Maulid dimulai sejak zaman kekhalifahan Fatimiyah di bawah pimpinan keturunan dari Fatimah Az-Zahrah, putri Muhammad. Perayaan ini dilaksanakan atas usulan panglima perang, Shalahuddin al-Ayyubi (1137M-
1193 M), kepada khalifah agar mengadakan peringatan hari kelahiran Muhammad.
Tujuannya adalah untuk mengembalikan semangat juang kaum muslimin dalam perjuangan membebaskan Masjid Al-Aqsha di Palestina dari cengkraman kaum Salibis. Yang kemudian, menghasilkan efek besar berupa semangat jihad umat Islam menggelora pada saat itu.
Secara subtansial, perayaan Maulid Nabi adalah bentuk upaya untuk mengenalkan keteladanan Nabi Muhammad sebagai pembawa ajaran agama Islam. Tercatat dalam sepanjang sejarah kehidupan, bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpin besar yang sangat luar biasa dalam memberikan teladan agung bagi umatnya.
Dalam konteks ini, Maulid harus diartikulasikan sebagai salah satu upaya transformasi diri atas kesalehan umat. Yakni, sebagai semangat baru untuk membangun nilai-nilai profetik agar tercipta masyarakat madani yang merupakan bagian dari demokrasi seperti toleransi, transparansi, anti kekerasan, kesetaraan gender, cinta lingkungan, pluralisme, keadilan sosial, ruang bebas partisipasi, dan humanisme. Dalam tatanan sejarah sosio antropologis Islam, Nabi Muhammad dapat dilihat dan dipahami dalam dua dimensi sosial yang berbeda dan saling melengkapi.
Pertama, dalam perspektif teologis-religius, Nabi Muhammad dilihat dan dipahami sebagai sosok nabi sekaligus rasul terakhir dalam tatanan konsep keislaman. Hal ini memposisikan Nabi Muhammad sebagai sosok manusia sakral yang merupakan wakil Allah di dunia yang bertugas membawa, menyampaikan, serta mengaplikasikan segala bentuk pesan “suci” Allah Swt., kepada umat manusia secara universal.