Ketika aku sudah memasuki bus pada pertengahan bulan itu, Saat aku berangkat dan sadar kampung tempat aku besar sudah jauh disana, masa itu juga aku sadar aku sudah melalui masa-masa sebagai anak kecil. Ya, aku sudah dewasa, mungkin aku tak akan pernah lagi merasa bermain di padang semak, memanjat pohon kelapa lalu bergelantungan di pelepah daun pohon itu, berenang berjam-jam di parit sampai kulit tangan keriput kedinginan, dan yang menyakitkan adalah aku tak lagi bisa berdiam di samping ibu bapak layaknya dahulu. Sekarang aku sudah besar. Ketika aku tahu kenyataan ini seketika memori-memori kebahagiaan kebersamaan aku membuncah begitu saja. Aku akan merindukan kampung tempatku besar, kawan aku bermain, dan ibu, bapak, adik, kakak, semuanya yang aku tinggalkan. Belum sempat busku  meninggalkan provinsi Riau aku sudah menitikkan mata. Aku menangis.
Dewasa itu Menakutkan
Ketika aku kecil aku sangat tak sabar untuk menjadi orang dewasa. Lalu aku yang kecil tak terasa sudah remaja. Aku yang remaja terlalu banyak cita-cita, terlalu banyak khayal. Hingga sekarang aku sudah dewasa. Dan menjadi dewasa ternyata mendatangkan begitu banyak kecemasan. Lalu sekarang aku ingin kembali menjadi anak kecil. Aku yang dewasa rindu hidup bermain tanpa kepikiran tanggung jawab, bisa berkhayal jadi Power Rangers biru tanpa kepikiran tugas-tugas menumpuk. Aku merasa aku masa lalu adalah seseorang yang begitu mudah bahagia. Aku rindu masa lalu itu.Â
Keasyikan mengenang masa lalu membuat aku merenung. Apakah aku bahagia dengan kehidupanku sekarang. Rasanya ini sebuah anomali, aku yang dulu semangat menjadi orang dewasa kini malah cemas dan takut menjadi orang tak berguna. Aku terkadang takut tak bisa menjadi sekuat ibuku yang bisa senantiasa tersenyum. Aku khawatir tidak bisa sehebat bapak. Akhirnya, aku ragu dengan apa yang aku tuju. Aku menyesali semua keputusan masa laluku. Bahkan aku takut untuk hidup.
Menjadi dewasa ternyata menakutkan. Saat kecil kupikir hidup hanya semudah bernafas. Ternyata begitu banyak problematika yang membebani pikiran. Dan di antara semua itu, aku takut gagal menjadi seorang manusia. Aku cemas tidak bisa menjalani hidup ini sesuai harapan. Kecemasan itu terus menumpuk di pikiran lagi dan lagi. Ibu, bapak! aku ingin menjadi anak kecil lagi. Aku rindu pelukan berdua.
Takut tambah dewasa
Takut aku kecewa
Takut tak seindah yang kukira
Takut tambah dewasa
Takut aku kecewa
Takut tak sekuat yang kukira
Aku tetap bernafas
Meski sering tercekat
Aku tetap bernafas
Meski aku tak merasa bebas
Aku tidak Sempurna
Dewasa adalah Penerimaan
Sebagai seorang anak manusia aku bukanlah sosok yang sempurna. Bahkan sebenarnya tak ada satupun yang sempurna. Fakta bahwa setiap orang memiliki kekurangannya masing-masing adalah realita yang seharusnya membuat aku menjadi manusia yang bersyukur. Di dunia ini bukan aku saja yang sedang menderita. Ada lebih banyak lagi orang yang mengalami masalah luar biasa berat daripada yang aku rasakan sekarang. Penerimaan adalah kuncinya. Menerima bahwa aku memang tidak sempurna dan aku memang tidak harus sempurna. Yah, aku hanya harus bersyukur untuk semua apa yang kudapatkan. Aku tidak perlu bersedih karena aku sudah berjuang sekuat tenaga.
Aku sudah dewasa
Aku sudah kecewa
Memang tak seindah yang kukira
Aku sudah dewasa
Aku sudah kecewa
Memang tak sekuat yang kukira
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H