Mohon tunggu...
Sulistyo
Sulistyo Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Dagang

Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bahasa Daerah Jangan Sampai Punah

22 Oktober 2017   13:53 Diperbarui: 22 Oktober 2017   18:57 3545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penutur bahasa PUlau Alor, NTT. (KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG)

Kecenderungan punahnya beberapa bahasa daerah di negeri ini pastinya sangat memprihatinkan. Di samping akan berakibat pada berkurangnya salah satu aset kebudayaan daerah, juga nilai-nilai kelokalan sebagai aspek penting dalam pelaksanaan pembangunan akan hilang sehingga pemberdayaan rakyat di masing-masing daerah menjadi kurang membumi.

Seperti pernah diberitakan bahwa belakangan ini perhatian terhadap bahasa daerah masih belum optimal, ditemui di beberapa daerah yang bahasa ibunya terancam punah. Terhadap gejala ini, tokoh Dewan Adat Suku (DAS) Namblong di Kabupaten Jayapura, Maikhel Yaung sejak tahun 2013 mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anak di dua kampung Distrik Namblong karena tidak ingin bahasa Namblong tidak lagi digunakan generasi muda pada masa mendatang (Kompas, 17/10/2017, halaman 12).

Dalam topik berita yang sama, di Alor (Nusa Tenggara Timur) di Ibu Kota Kabupaten Kalabahi masih ditemui warga yang tak tahu ada bahasa daerah Reta. Penutur bahasa tersebut semakin berkurang. Dikhawatirkan jika kondisi demikian tidak segera diantisipasi dan dicarikan cara melestarikannya, dimungkinkan nantinya akan punah.

Jauh sebelumnya, hal yang sama dikemukakan Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud, Hurip Danu Ismadi bahwa dari hasil kajian menunjukkan, beberapa bahasa kini mengalami ancaman kepunahan, seperti di Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua.

Sepanjang tahun 2016, Kemdikbud memetakan dan memverifikasi 646 bahasa daerah dari 2.348 daerah penelitian. Dari 646 bahasa daerah itu, terdapat sejumlah bahasa yang vitalitasnya terancam punah, bahkan sudah punah (kompas.com,23/02/2017).

Disebutkan pula, selama tahun 2011-2016, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa telah memetakan vitalitas 52 bahasa daerah. Dari 52 bahasa tersebut, terdapat 11 bahasa daerah yang sudah punah, 3 bahasa berstatus kritis, 12 bahasa berstatus terancam punah, 2 bahasa berstatus rentan, dan 12 bahasa yang berstatus aman (seperti Jawa, Sunda, Aceh, Bali, Bugis, Makassar, Muna, dan Sentani).

Petikan berita di atas menggambarkan bahwa bahasa daerah benar-benar perlu mendapat perhatian semua pihak (terutama yang berkompeten), mengingat bahasa daerah sebagai bagian terkait kebudayaan di masing-masing lokal/komunitas, adat/suku, jangan sampai punah di tengah arus modernisasi dan globalisasi disertai nilai peradaban yang melekat didalamnya sehingga dikhawatirkan malah "menggeser" nilai budaya lokal di beberapa daerah.

Terhadap persoalan ini, beberapa upaya sudah dilakukan, diantaranya peran pemerintah daerah melindungi bahasa dan sastra daerah sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Dalam Pasal 42, Ayat (1), disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan jaman, dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Langkah lain yang telah dilakukan terkait pelestarian bahasa daerah ini terlihat bahwa di sekolah-sekolah dasar dan menengah diajarkan/masuk kurikulum sebagai muatan lokal (mulok) dengn harapan para generasi muda akan tetap menyintai bahasa ibunya.

Namun dalam realitasnya, regulasi yang sudah dikumandangkan sejak tahun 2009 tersebut yaitu dengan lahirnya UU No 24 Tahun 2009 -- jumlah bahasa daerah yang tersebar di seantero nusantara tercinta ini justru tidak bertumbuh dan tidak berkembang. Malahan cenderung mengalami kepunahan, kritis, bahkan sudah ada beberapa yang punah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun