Di sebuah desa kecil di pinggiran kota, tinggallah seorang gadis bernama Aisyah dan seorang pemuda bernama Bima. Mereka tumbuh bersama sejak kecil, bertetangga, dan menjalin persahabatan yang begitu erat. Seiring berjalannya waktu, rasa itu berkembang. Aisyah dan Bima jatuh cinta, namun ada satu masalah yang membayangi kebahagiaan mereka: perbedaan agama.
Aisyah, seorang Muslimah yang taat, seringkali mendengarkan nasihat orang tuanya bahwa pernikahan harus seiman. Sementara itu, Bima, seorang Nasrani, juga dibesarkan dengan ajaran agamanya yang kuat. Mereka sama-sama tahu bahwa cinta yang mereka miliki akan dihadapkan pada tembok tinggi bernama perbedaan keyakinan.
Setiap sore, mereka bertemu di tepi sungai kecil di dekat rumah, membicarakan mimpi-mimpi dan harapan mereka. Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam, Bima memberanikan diri bertanya, "Apa mungkin kita bersama?"
Aisyah terdiam sejenak, matanya menatap lurus ke arah langit yang mulai berwarna oranye keemasan. "Aku tidak tahu, Bima. Aku mencintaimu, tapi aku juga mencintai Tuhanku. Agama kita berbeda, dan itu bukan hal kecil. Keluargaku tidak akan pernah setuju."
Bima mengangguk pelan, meski hatinya berat. "Aku pun sama, Aisyah. Aku tak ingin melepaskanmu, tapi aku juga tak ingin menyakiti kepercayaanku."
Hari-hari berlalu, dan dilema mereka semakin berat. Mereka saling mencintai, tapi keyakinan yang mereka anut menjadi tembok yang tak bisa diruntuhkan dengan mudah. Keluarga mereka pun mulai mendengar desas-desus tentang kedekatan mereka, dan mulai muncul tekanan dari kedua belah pihak.
Pada suatu hari, di bawah senja yang sama, mereka memutuskan untuk berbicara jujur kepada keluarga masing-masing. Meski sulit, Aisyah dan Bima tahu bahwa kebersamaan mereka tidak mungkin tanpa restu dari keluarga.
Sayangnya, harapan mereka kandas. Keluarga Aisyah menolak keras hubungannya dengan Bima, begitu pula keluarga Bima yang tidak bisa menerima anaknya menikah dengan seorang yang berbeda agama. Setelah percakapan panjang, Aisyah dan Bima memutuskan untuk berpisah demi menghormati kepercayaan masing-masing.
Namun, perpisahan itu tak menghilangkan cinta mereka. Setiap kali senja tiba, mereka mengenang satu sama lain, merenungkan bagaimana cinta yang tulus bisa terhalang oleh perbedaan keyakinan. Meski mereka tak lagi bersama, keduanya memahami bahwa cinta tidak selalu harus berujung pada kebersamaan fisik. Cinta juga bisa bermakna saling menghormati dan memahami.
Di ujung senja yang sama, Aisyah dan Bima berdiri di tempat yang berbeda, tapi hati mereka tetap terpaut, saling mendoakan dalam diam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H