Mohon tunggu...
Neng Listya
Neng Listya Mohon Tunggu... -

Indah andai bisa seperti itu ^ ^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan, dan Dia Menghilang [Cerpen]

11 Maret 2012   07:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:13 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“ Tak tik tak tik “ air hujan terus bersahutan. Sore ini hujan lagi. Aku harus pulang cepat hari ini. Ibu menungguku, ibu sedang sakit dan tak ada yang menjaganya. Ya Tuhan terlalu banyak berkas yang aku bawa. Aku tak bisa menerobos air hujan ini. Tak ada lagi yang bisa aku lakukan kecuali menunggu sampai hujannya reda.

Tiba-tiba seseorang mendekatiku. “ Sepertinya kau membutuhkan ini, pakai lah !” sambil menyodorkan payung ke arahku. “ Oh iya, terima kasih “ aku langsung pergi dari hadapannya. Aku sudah tak ada waktu lagi, aku harus cepat pulang.
Lega rasanya, aku sampai di rumah. Melihat ibu baik baik saja , duduk di ruang tamu. Di kursi tua peninggalan ayah. “ Bagaimana pekerjaanmu hari ini  Nak?” tanya ibu. “ Alhamdulillah lancar Bu “ jawabku , yang walaupun sebenarnya sedikit kacau. Aku khawatir dengan Ibu.

Baru tersadar aku. Payung ini milik siapa? Ya Tuhan aku benar-benar  tidak fokus hari ini. Tadi ada seseorang yang memberikan payung ini kepadaku. Terima kasih untuk seseorang itu. Aku janji akan mengembalikannya setelah bertemu nanti.
Pagi ini mendung, sebaiknya payung ini aku bawa saja. Barang kali aku membutuhkannya. Dan satu lagi, aku bisa mengembalikan ke pemilik payung ini. Tapi bagaimana bisa ? sedang aku saja tak ingat dengan wajahnya. Hanya yang ku ingat dia seorang laki-laki muda.
Semoga hari ini aku bisa bertemu dengannya. Aku menunggunya di sini. Di halte dekat kantorku. Dan tak lama ada seseorang datang. “ Permisi, boleh saya ikut menunggu bus di sini “ bermaksud duduk dikursi halte tempat aku duduk sekarang. “ iy silakan “ jawabku. Ada orang di sebelahku. Seorang laki-laki muda, dan sangat rapi. Seperti aku sudah bertemu sebelumnya. Siapa ya? Dalam hati bertanya-tanya. Jangan-jangan ini pemilik payung itu?
Lima menit pertama, kita hanya diam. Tak ada suara dari mulut masing-masing. Aku terlalu malu untuk memulainya. Lima menit kemuadian “ ehh boleh…” “emm kamu ….” Dengan waktu bersamaan aku dan seseorang itu memulai pembicaraan. Dan akhirnya kita saling tertawa. Tak aku sangka akan membuka mulut bersamaan. Lucu. “ Silakan kamu saja yang ngomong duluan “ katanya. “ Ah enggak kamu saja” jawabku. Dari pada hanya berdebat tentang siapa yang duluan berbicara, seseorang itu memulainya. Kita berkenalan .
“ Gimana kemarin? Berkasmu tidak basah kan?” Terkaget aku mendengar kata-katanya. Bagaimana dia tahu tentang berkas-berkas yang aku bawa kemarin saat hujan turun. Berarti tak salah lagi, memang dia orangnya. Seseorang yang sudah meminjamkan payungnya untukku.
“………..” terdiam lama. “ Hei, kamu pasti sudah lupa kejadian kemarin. Aku tahu kamu sangat buru-buru” katanya lagi. Aku belum sadar dengan lamunanku.
“ Eh iya, maaf aku melamun, aku tak mendengar apa kamu bilang tadi, maaf “ - -“
“ Iya kita sudah bertemu sebelumnya. Kemarin disini, saat hujan turun. Aku lihat kamu sangat buru-buru dan langsung pergi begitu saja “
“ I I I iya… maaf ya, aku belum sempat berterima kasih sama kamu. Terima kasih ya? Dan ini  payung yang kemarin,” bermaksud ku kembalikan payung itu. “ Sudah pakai saja, siapa tahu kamu masih membutuhkannya lain waktu”
Aku kembali terdiam, entah apa yang aku pikirkan. “ oh aku sudah bawa payung satu lagi, sebaiknya ini aku kembalikan sama kamu “ . Seseorang itu tersenyum melihatku. “ Ya sudah, pakai buat kenang-kenangan saja bahwa aku pernah bertemu kamu di sini “ Kata-kata terakhir ini membuatku sedikit heran. Kenang-kenangan bahwa pernah bertemu. Apa maksudnya?
Ah tak apa, tak baik aku menolak maksud baiknya. Memberikan payungnya untukku. Dan kuterima payungnya. “ Makasih ya? ”
“Sama-sama” seseorang itu pergi meninggalkanku di halte ini. Pergi ke ujung jalan dan semakin lama, semakin jauh dan menghilang. Tak terlihat lagi….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun