“Besok, kita berangkat awal ya mah. ”, kata Bapak disela-sela mempersiapkan buka puasa kemarin.
“Loh, emang besok udah masuk? Berarti anak kelas satunya siswa baru yaaaahh”, saya menyelinap ditengah pembicaraan mereka berdua.
Rupanya hari ini sekolah sudah mulai ajaran baru kembali. Kok nanggung ya? Ternyata memang hanya dari kamis sampai sabtu saja, kemudian libur lagi. Libur Idul Fitri. Nah, mendengar ajaran baru, saya jadi teringat sebuah moment sakral penyambutan siswa barunya. Sebut saja MOS atau Masa Orientasi Siswa.
Tulisan yang saya buat ini tidak akan membandingkan MOS ala negeri kita dengan yang ada di luar negeri sana. Jelas bedanya sih. Saya hanya ingin mengingat MOS yang saya alami beberapa tahun silam dan kemudian menertawakannya sendiri. Ngeselin tapi berkesan juga, ambil lucu-lucunya.
Saya dan MOS
Sembilan tahun yang lalu, tepatnya ketika saya akan mengganti seragam putih merah ini dengan putih rok biru tua. Saya pun sempat mencicipi apa itu MOS. Karena baru pertama kali merasakannya, saya hanya bisa menggambarkannya dengan kata “Oh ini namanya MOS”. Tugas-tugas ala mos yang nyeleneh pun saya dapatkan seperti mencari jeruk tiga warna, permen pocong, mencari tanda tangan kakak kelas dan teman seangkatan, buat tas dengan ukuran ini kali itu, dikucir sesuai hari dan hal-hal yang sebenarnya mudah tetapi di buat ribet. Ya, tugas MOS sepertinya memang punya prinsip “meribetkan yang sepele karena semua tugas harus ribet”. Begitulah , silakan cek kamus tugas MOS-mu disini dik.
Ternyata tidak cukup di SMP. Ketika saya dan teman-teman melanjutkan pada jenjang berikutnya, MOS masih menghadang kami para siswa baru. Tugas MOS di SMP memang berbeda dengan SMA, tetapi sama-sama ribet. Saya ingat tugas-tugas yang diberikan saat itu adalah seperti merangkum berita, mencatat perkataan Pak Mario Teguh, membuat denah sekolahan, mewawancari kakak kelas yang berbeda jenis , membuat sop dengan sayur yang sudah ditentukan ukurannya, dan tugas-tugas yang masih sama kadar ribetnya.