Sebuah testimoni dari bukan warga asli, tetapi suka merasa memiliki.
Belakangan ini status media sosial teman-teman saya hampir serupa. Kompak. Isinya tentang sebuah kota yang baru-baru ini, menurut hasil analisis kompas, menjadi kota yang masuk kategori ideal untuk masa pensiun dan slow living.
Mengenal Temanggung yang Saya Tahu
Sepanjang saya menyebutkan Temanggung sebagai tempat tinggal, sering saya menemui tanya, "Di mana?"
Tidak sepopuler itu rupanya Temanggung di telinga orang-orang asing yang saya temui. Beberapa memang suka menebak, sayangnya salah lokasi. Sering dikira di timur jawa, padahal masih di tengah-tengah. Jawa Tengah.
Seperti kalimat di awal tulisan ini, saya bukan orang yang dilahirkan di Temanggung. Jadi tulisan ini hadir dari warga yang kebetulan dibesarkan dan bertumbuh di kota yang punya slogan "Bersenyum" alias Bersih, Sehat dan Nyaman untuk Umum. Tulisan yang tidak punya konflik kepentingan karena saya tulus ingin menceritakan dari sisi yang saya tahu.
Kota yang juga suka saya romantisasi dengan kalimat, "bukan tempat lahir tetapi pembuat rindu paling mahir."
Secara lokasi sebenarnya posisi kota ini cukup strategis, di antara Magelang dan Wonosobo. Dua kota yang juga selalu saya bawa-bawa agar mereka yang awam menjadi bisa membayangkan kota yang saya ceritakan.
Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, Jaran Kepang, Tembakau, dan Kopi adalah bahasan yang kemudian selalu mengikuti agar semoga yang bisa dicetak tebal di pikiran lawan bicara saya. Menjadi bukti-bukti nyata bahwa Temanggung bukan sekadar kota yang dilewati lalu lupa, katanya.
Membayangkan Slow Living di Temanggung