Sudah terlanjur membeli atau baru sebatas melihatnya?
Dari mulai bentuk pil, serbuk minuman, teh, sampai kalung atau sabuk, hari ini produk-produk yang menawarkan penurunan berat badan makin beragam rupanya. Membuat makin senang karena banyak pilihan atau membuat makin kritis karena bertanya-tanya, "Apakah benar begitu?"
Kondisi Terkini yang Membuat Produk Pelangsing Menjadi Ada?
Obesitas dan kelebihan berat badan (overweight) telah menjadi masalah gizi di dunia. Sejak tahun 1975, obesitas di seluruh dunia telah meningkat hampir 3 kali lipat. Hal ini tentu mengkhawatirkan, sebab keadaan obesitas bisa menimbulkan risiko kesehatan yang lain seperti diabetes, penyakit kardiovaskuler bahkan sampai kematian.
Menurut WHO dan UNICEF, jumlah orang dewasa yang mengalami kelebihan berat badan (overweight) di Indonesia telah berlipat ganda selama dua dekade terakhir.
Tidak berhenti di situ saja, menurut Survei Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 obesitas pada anak juga meningkat, di mana diketahui 1 dari 5 anak usia sekolah dasar dan 1 dari 7 remaja di Indonesia mengalami kelebihan berat badan/obesitas.
Ya, tidak hanya bisa dialami orang dewasa, pun remaja dan anak-anak bisa menjadi obesitas. Namun, kabar bahagianya, obesitas sebenarnya dapat dicegah.
Kenapa Produk Pelangsing Nggak Ada Matinya?
Melihat kondisi tersebut, maka tidaklah heran jika kemudian produk-produk pelangsing bermunculan dan nggak ada matinya.
Harapan ingin menurunkan berat badan lalu menjadi langsing dengan cara yang cepat seperti yang terlihat dalam iklan yang ditawarkan ditambah dengan perpaduan testimoni pembeli -yang entah benar atau editan- membuat magnet untuk mencobanya makin kuat saja, ya?
Padahal prinsip menurunkan berat badan itu sederhana. Walau kenyataannya tidak sederhana karena perlu niat yang sungguh-sungguh.
Kunci menurunkan berat badan adalah dengan melakukan defisit kalori/pengurangan kalori yang bisa kamu atur melalui makan yang diasup dan aktivitas fisik yang dilakukan.
Jadi akan sia-sia, jika kamu menggunakan produk pelangsing tetapi pola makan masih tidak mau diatur dan aktivitas fisik yang masih saja lebih banyak rebahan dan mageran.
Turunin Berat Badan vs Naikin Berat Badan
Beberapa waktu yang lalu, survei kecil-kecilan pernah saya lakukan di Instagram saya. Survei mengenai tujuan mereka terkait berat badan yang ingin dicapai. Apakah menjadi tim turun berat badan atau naik berat badan.
Di awal, saya sempat memantau pergerakan survei tersebut. Saya pikir akan didominasi yang ingin menaikan berat badan, tetapi ternyata saya salah menduga.
Di akhir survei, ternyata hasilnya sebaliknya. Sebanyak 67 persen teman-teman saya di Instagram menjadi tim untuk menurunkan berat badan dan sisanya yaitu 33 persen menjadi tim menaikkan berat badan. Menarik, ya? Survei ini diikuti lebih dari 100 akun, lho.
Karena ini hanya soal survei sederhana, tidak ada data pendukung apakah sebenarnya status gizi mereka bisa dikatakan berlebih lalu ingin menurunkan berat badan dan sebaliknya. Sangat mungkin jika yang terjadi mereka sebenarnya berstatus gizi normal atau bahkan kurang, namun merasa sudah kelebihan.
Terlepas dari itu, dari fakta obesitas yang ada saat ini, ditambah dengan fenomena produk pelangsing yang makin menjamur, sudah seharusnya kita harus makin kritis.
Mendapat tubuh ideal dengan cepat memang berita yang menyenangkan. Akan tetapi, coba dipikir lagi apakah memang semagis itu? Kok bisa? Bagaimana prosesnya? Ada tidak dampak yang bisa ditimbulkan ke depannya?
Jangan-jangan yang selama ini diincar bukan kesehatanmu, tetapi isi dompetmu. #eh
Salam,
Listhia H. Rahman
***
Jika ada waktu sabtu ini, silakan ikuti webinar "Serba-serbi Produk Pelangsing dari Prespektif Gizi" untuk mendapatkan arah jalan yang benar! Gratiss!
Ada sayanya. Hehe 😂
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H