Ya...
Alhamdulillah. Hampir tiap tahun menjelang Ramadan, rumah kami selalu ada yang mengetok pintu pagi-pagi. Pintu yang diketok seorang (atau lebih) sambil membawa rantang berbagai macam lauk, nasi dan juga snack-snack tradisional.
Mempertahankan Nyadran di Tengah Pandemi
Di tengah pandemi corona yang melanda, nyatanya tradisi nyadran tetap berjalan. Akan tetapi memang ada yang berbeda yaitu dengan tidak menciptakan kerumuman. Alhamdulillah, Ramadan kali ini pun kami masih mendapatkan keberkahan nyadran.
Menurut penuturun beberapa teman yang terlibat langsung dengan tradisi ini, kegiatan nyadran memang tetap dilakukan. Hanya ada bedanya. Seperti nyadran yang biasanya di masjid, kini jadi dilakukan di rumah masing-masing. Pertunjukkan kesenian rakyat yang biasanya turut meramaikan Nyadran juga ditiadakan. Nyadran yang tetap berjalan dengan mengikuti anjuran.
Dikutip dari www.suaramerdeka.com, pemerintah Temanggung sebenarnya telah melarang diadakan nyadran untuk memutus penularan corona. Namun di sisi lain, ada warga yang tetap ingin melakukannya. Untuk mengatasi hal tersebut tercetus jalan tengah yang bijaksana yaitu adanya nyadran "online".
Dengan memanfaatkan teknologi, pemuka agama akan membaca tahlil di masjid menggunakan pengeras suara dan warga cukup mengamini dari rumah masing-masing saja. Contoh lainnya ada di Dusun Kuncen, di mana di sana para pemuda mensiasati nyadran online dengan cara siaran langsung melalui Instagram. Kreatif ya!
***
Melihat masa lalu dari tradisi nyadran, nyadran adalah salah satu bentuk usaha para Walisongo agar agama Islam mudah diterima dengan cara menggabungkan tradisi dengan dakwahnya. Jadi nyadran bukanlah kegiatan musyrik, melainkan dipahami sebagai bentuk hubungan leluhur dengan manusia dan juga Tuhan Yang Maha Esa.
Kalau bukan kita yang menjaga dan melestarikan tradisi ini siapa lagi?