Ketika sesuatu itu sudah dinantikan dan menjadi kebiasaan tetapi harus ditiadakan. Mudik.
Ramadan kali ini benar-benar diajarkan untuk lebih banyak belajar ikhlas. Ikhlas untuk tidak dulu pergi mudik, misalnya. Ya. Menjadi perantau di kota orang tentu membuat pulang kampung jadi sesuatu yang wajib terlebih di momen yang spesial di bulan Ramadan dan Lebaran. Hal yang selalu menjadi obat pelunas rindu yang kini harus ditunda dulu.
Kondisi keluarga besar memang rata-rata adalah perantau. Maka tidak heran, jika momen mudik pasti jadi sesuatu yang sama-sama kami tunggu. Sama-sama ingin kami segerakan untuk bertemu. Jangankan keluarga besar, orangtua saya sendiri pun harus terbiasa dengan anak-anaknya (kakak dan adik saya) yang harus jauh di mata karena berada di luar kota. Kakak yang ada di Balikpapan dan Adik yang di Magelang tetapi tidak bisa pulang.
Di Ramadan kali ini dan lebaran nanti, saya akan merasakan tidak hanya tidak bisa bertemu dengan keluarga besar yang lain tetapi juga adik dan kakak saya sendiri. Kedua saudara kandung yang begitu saya cintai. Sedih memang tidak bisa berjumpa secara raga tetapi setidaknya masih bisa tersambung lewat teknologi.
Begitupun dengan nasib saudara yang lainnya. Beberapa waktu yang lalu, saudara saya (yang kebetulan seumuran, hanya terpaut dua minggu) di Jakarta mengirim pesan. Menanyakan perihal kepulangan ke kampung halaman.
Saya tahu, saudara saya ini sebenarnya sudah tahu apa jawabannya. Saudara saya yang sengaja mengajak untuk mengenang bagaimana biasanya kami bertemu di waktu mudik di tahun-tahun sebelumnya. Membuat kami sama-sama saling memberikan emoji menangis.
Mengingat Bagaimana Biasanya Kami Mudik
Biasanya kami yang dari Temanggung menjadi yang pertama sampai di rumah Nenek. Rumah Nenek yang harus kami tempuh sekitar tujuh sampai delapan jam dari rumah di sini. Dulu, sebelum Bapak memiliki mobil pribadi, waktunya bisa lebih lama lagi karena kami tidak hanya menaiki satu kendaraan lalu sampai, tetapi harus naik turun beberapa bus (kecil dan besar) dan mobil angkutan umum plus ojek untuk sampai di rumah yang letaknya di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Ya, rumah kami di kampung halaman benar-benar berada jauh dari pusat kota. Jadi istilah mudik benar-benar saya artikan secara sebenarnya.
Semenjak Bapak sudah memiliki mobil sendiri, ceritanya berbeda. Kami yang kini bisa leluasa mengatur waktu sendiri dan tidak naik turun kendaraan berbeda lagi.
Saat mudik waktu berangkat favorit kami adalah setelah salat subuh. Sengaja agar jalanan tidak terlalu ramai dan harapannya suasana juga tidak terlalu terik. Alhamdulilah, selama sepanjang perjalanan mudik, tidak pernah ada keluhan cuaca di jalan.