Ketika semua mendadak merasa 'ditinggal pas sayang-sayangnya'. Hmm.
Siapa yang ingin ditinggal saat sedang sayang-sayangnya? Cuma ditinggal saja sudah tidak mau, ditambah dengan beban: pas lagi sayang-sayangnya. Tentu rasanya akan menjadi makin sulit saja.
Oleh sebab itulah, tidak heran jika 'penyakit' yang biasanya menjangkiti hubungan yang baru mulai tumbuh ini paling dihindari dan disemogakan untuk tidak terjadi.
Namun, apa mau dikata kalau yang ternyata 'pestisida' yang sudah kita siapkan untuk meniadakannya ternyata tak mempan? Hiks.
Menjadi diposisi korban alias yang ditinggal pasti tidak akan mengenakkan. Pasti akan ada pertanyaan yang tumbuh di kepala. Pertanyaan seperti: "Kamu kenapa kok tiba-tiba berubah?" atau "Apa salahku sih kok tega-teganya kamu giniin aku?"
Pertanyaan makin kompleks lagi ketika si dia yang pergi tidak meninggalkan petunjuk apa-apa. Seolah memang sedang tidak terjadi apa-apa, gitu. Kalau yang model begini, boro-boro mau kasih pertanyaan dan berharap dapat penjelasan dink. Sudah keburu 'tingggg'. Hilang. Ehem.
Mari Berkontemplasi
Ya, sudah. Kalau memang kamu tidak bisa mendapat penjelasan darinya, tidak usah dikejar. Nanti capek sendiri. Karena sudah dikejar pun tidak menjamin akan menjawab pertanyaanmu atau akan sesuai dengan maumu. Jadi daripada mencari-cari penjelasan mana yang berubah dan mana yang salah, lebih baik kontemplasi diri saja. Merenung.
Coba deh sekarang kamu pikirkan lagi.
Apakah kamu cukup memenuhi syarat dikatakan sebagai seorang korban atau jangan-jangan hanya sebatas prasangka kamu saja? Memangnya kamu sudah sungguhan sayang sama dia atau jangan-jangan cuma kesepian dan kebetulan ada dia?
Jangan-jangan kamu cuma butuh teman bicara saja dan sebenarnya rasanya belum dalam untuk disebut sayang? Atau sayang yang levelnya adalah sayang kalau dia hilang. Tidak ikhlas bukan sebuah rasa yang amat suka. Paham gak sih?