Mungkin kamu berpikir, "Ah, udah gak zamannya lagi, kali."
Selama hidupmu, sudah pernahkah kalian melihat diri kalian terpampang di media cetak? Kalau belum, segeralah diwujudkan buat kenang-kenangan. Sebab meski zamannya kini sudah banyak yang 'online-online', nyatanya tidak memudarkan sensasi rasanya bisa 'nyempil' di media cetak.
Oleh karena itulah, masuk media cetak pernah menjadi mimpi yang harus jadi nyata dan Alhamdulillah benar bisa diwujudkan. Waktu itu di awal tahun 2015.
Masa di mana saya belum lama juga bergabung menulis di sini. Sekitar tiga bulanan pasca mulai menulis di Kompasiana. Ya, motivasi untuk menembus meja redaksi itu juga karena kekuatan kompasiana. Ihiy.
Tak tanggung-tanggung, media cetak yang saya sasar adalah koran yang masih keluarga dengan Kompasiana, Kompas tanpa -iana. Salah satu media cetak yang saya kira banyak diidamkan siapapun untuk bisa ikut tercetak tulisannya di sana.
Bayangkan tercetak ratusan ribu eksemplar dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia.
Hari itu, 13 Januari 2015, jadi hari yang bersejarah dalam dunia kepenulisan saya. Jangan dikira ini percobaan pertama, ini sudah kesekian kali. Kuncinya memang tidak boleh putus asa, kalau belum lolos-coba lagi. Begitu terus, sampai redaksinya bosan membaca namamu. HAHA.
Setelah kejadian tersebut, saya jadi merasa masuk koran Kompas jadi tidak sesusah awalnya. Kalau tidak salah ingat tiga kali saya berhasil meloloskan argumentasi saya. Iya, semua terlihat tidak sesusah di awal.
Semua Gara-gara Kompasiana
Selain koran, ternyata media cetak yang saya rasakan selanjutnya adalah majalah. Iya, yang kertasnya lebih tebal itu. Sungguh kejadian di luar impian saya.
Untuk 'kasus' yang ini saya dapatkan bukan karena saya mengirimkan naskah. Bukan dengan cara harus bersaing dengan tulisan berkualitas yang lain. Saya tiba-tiba dihubungi lewat email dari sebuah majalah yang langsung mengutarakan niat untuk meminta izin memuat tulisan saya di Kompasiana.